Makalah
|
Pemberian Sekor dan Sistem Penilaian
|
|
![]() |
|

KATA PENGANTAR
AssalamualaikumWr. Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang
telah melimpahkan rahmat-Nya, karena atas izin-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Tak lupa penulis ucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
Penulis mengharapkan kritik dan
saran agar menjadi koreksi dan peningkatan penulis dalam pembuatan makalah
selanjutnya.
WassalamualaikumWr. Wb
Nyukang Harjo, 15 Oktober 2016
Penulis
Misiyem,A.Md
Daftar Isi
Cover ………………………………………………………………………………………………………………….
Kata Pengantar ……………………………………………………………………………………………………
Daftar Isi …………………………………………………………………...........................................................
1.
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………………………
1.1
Latar Belakang
……………………………………………………....................................................
1.2
Rumusan Masalah ……………………………………………………………………………………..
.
2.
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………………………...........
2.1
Konsep Penilaian Dan Penskoran ……...……………………………………….………..
2.2
Pemberian Skor Tes Pada Domain Afektif ………………...…………………………
2.3
Pemberian Skor Tes pada Domain Psikomotor.....................................................
2.4
Hambatan Dan Solusi Dalam Pemberian Skor......................................................
3.
BAB III PENUTUP ……………………………………………………………………………………...
3.1
Kesimpulan ………………………………………………………………………………………………
3.2
Saran ………………………………………………………………………………………………………..
Daftar
Pustaka ………………………………………………………………………………………………..
Lampiran
……………………………………………………………………………………………………….
|
1
2
3
4
4
5
16
17
19
20
21
21
22
|
|
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bentuk
kegiatan tindak lanjut dari tes yang telah dilakukan terhadap siswa adalah memberikan skor pada setiap lembar
jawaban siswa. Kegiatan ini harus dilakukan dengan cermat karena menjadi dasar
bagi kegiatan pengolahan hasil tes sampai menjadi nilai prestasi. Sebelum
melakukan tes, hal yang harus disiapkan adalah menyusun teknik pemberian skor (penskoran) dan strategi pemberian skor sejak perumusan kalimat
pada setiap butir soal.
Pada kegiatan belajar
ini akan disajikan pemberian skor pada tes domain kognitif, afektif, dan psikomotor
sesuai dengan pedoman yang telah dikeluarkan oleh Diknas (2004) yang telah
dimodifikasi. Membuat pedoman penskoran sangat diperlukan, terutama untuk soal
bentuk uraian dalam tes domain kognitif supaya subjektivitas guru dalam memberikan skor dapat diminimalisir. Pedoman menyusun skor juga akan sangat
penting ketika melakukan tes domain afektif dan psikomotor peserta didik,
karena sejak tes belum dimulai, guru harus mampu menentukan
ukuran-ukuran sikap dan pilihan tindakan dari peserta didik dalam menguasai
kompetensi yang dipersyaratkan.
Pada makalah ini, kita
akan mempelajari teknik pemberian skor (penskoran) baik pada domain/ ranah kogntig, afektif,
maupun psikomotorik sehingga guru diharapkan memiliki pengetahuan dan
kapabilitas untuk memberi skor pada berbagai soal metode tes.
1.2 Rumusan masalah
1.
Bagaimana konsep skoring itu?
2.
Apa arti penting skoring bagi kegiatan evaluasi hasil belajar?
3.
Bagaimana teknik skoring untuk domain kognitif?
4.
Bagaimana teknik skoring untuk domain afektif?
5.
Bagaimana teknik skoring untuk domain psikomotorik?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Penilaian
Dan Penskoran
A. Definisi Penskoran
Pada hakikatnya
pemberian skor (scoring) adalah proses pengubahan jawaban instrumen
menjadi angka-angka yang merupakan nilai kuantitatif dari suatu jawaban
terhadap item dalam instrumen. Angka-angka hasil penilaian selanjutnya diproses
menjadi nilai-nilai (grade). Skor adalah hasil pekerjaan menyekor
(memberikan angka) yang diperoleh dari angka-angka dari setiap butir soal yang
telah di jawab dengan benar, dengan mempertimbangkan bobot jawaban yang benar.
Maka dapat disimpulkan
bahwa Penskoran (skoring) adalah suatu proses pengubahan jawaban-jawaban
tes menjadi angka-angka. Skor adalah hasil pekerjaan menskor yang diperoleh
dengan menjumlahkan angka-angka bagi setiap soal tes yang dijawab dengan benar oleh siswa. Skor maksimum tidak selalu tetap,
karena ditentukan berdasarkan atas banyak serta bobot soal-soal tesnya.
Dalam menskor atau
menentukan angka, dapat
digunakan 3 macam alat bantu yaitu :
1. Pembantu menentukan jawaban yang benar,
disebut kunci jawaban
2. Pembantu menyeleksi jawaban yang benar dan
yang salah, disebut kunci skoring
3. Pembantu menentukan angka, disebut pedoman
penilaian
Adapun pada umumnya,
pengolahan data hasil tes menggunakan bantuan statistik. Menurut Zainal Arifin
(2006) dalam pengolahan data hasil tes menggunakan empat langkah pokok yang
harus di tempuh.
1. Menskor, yaitu memperoleh skor mentah daritiga
jenis alat bantu, yaitu kunci jawaban kunci scoring dan pedoman konversi.
2. Mengubah skor mentah menjadi skor standar
3. Menkonversikan skor standar kedalam nilai
4. Melakukan analisis soal (jika diperlukan)
untuk mengetahui derajat validitas dan realibilitas soal, tingkat kesukaran
soal (difficulty index)dan daya pembeda.
B.
Perbedaan Antara Skor Dan Nilai
Dewasa
ini banyak diantara para guru sendiri yang masih rancu mengenai definisi dari
skor dan nilai. Skor adalah hasil pekerjaan menskor yang diperoleh dengan
menjumlahkan angka-angka bagi setiap soal tes yang dijawab benar oleh siswa.
Sedangkan nilai adalah angka ubahan dari skor dengan menggunakan acuan
tertentu, yakni acuan normal atau acuan standar. Pengubahan skor menjadi nilai
dapat dilakukan untuk skor tunggal, misalnya sesudah memperoleh skor ulangan
harian atau unutk skor gabungan dari beberapa ulangan dalam rangka memperoleh
nilai akhir untuk rapor. Secara rinci skor dapat dibedakan atas 2 (dua) macam,
yaitu skor yang diperoleh (obtained score) dan skor sebenarnya (true score).
Skor
yang diperoleh (obtained score) adalah sejumlah angka
yang dimiliki oleh testee sebagai hasil mengerjakan tes. Kelemahan-kelemahan
butir tes, situasi yang tidak mendukung, kecemasan, dan lain-lain faktor dapat
berakibat terhadap skor yang diperoleh ini. Apabila faktor-faktor yang
berpengaruh ini muncul, baik sebagian ataupun menyeluruh, penilai tidak dapat
mengira-ngira seberapa cermat skor yang diperoleh siswa ini mampu mencerminkan
pengetahuan dan keterampilan siswa yang sesungguhnya.
Skor
sebenarnya (true score) seringkali juga
disebut dengan istilah skor univers atau skor alam (universe skor), adalah
nilai hipotesis yang sangat tergantung dari perbedaan individu berkenaan dengan
pengetahuan yang dimiliki secara tetap. Sebagai contoh adalah apabila seseorang
diminta untuk mengerjakan sebuah tes berulang-ulang, maka rata-rata dari hasil
tersebut menggambarkan resultan dari variasi hasil yang tidak ajeg. Inilah
gambaran mengenai skor sebenarnya. Akan tetapi di dalam praktek tentu tidak
mungkin bahwa penilai meminta kepada testee untuk mengerjakan sebuah tes secara
berulang-ulang. Gambaran ini hanya untuk menunjukkan contoh saja dalam
menjelaskan pengertian skor sebenarnya.
C. Skala penskoring
1. Skala 0 – 10
Dalam penggunaan skala
10, skor aktual siswa ditransfer ke dalam 10 kelompok nilai, yaitu: 1, 2,
3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10. Skala 10 ini dipakai di sekolah sesuai dengan
anjuran pada kurikulum 1975, bahwa seorang siswa yang sudah belajar tidak mungkin
pengetahuannya tidak bertambah, apalagi berkurang. Oleh karena itu, nilai 0
(nol) ditiadakan. sehingga memungkinkan bagi guru untuk penilaian yang
lebih halus. Dalam skala 1-10, guru jarang memberikan angka pecahan, misalnya
5,5. Angka 5,5 tersebut kemudian dibulatkan menjadi 6. Dengan demikian maka
rentangan angka 5,5 sampai dengan 6,4 (selisih hampir 1) akan keluar di rapor
dalam satu wajah, yaitu angka 6.
2. Skala 0 – 100
Memang diseyogyakan
bahwa angka itu merupakan bilangan bulat. Dengan menggunakan skala 1-10 maka
bilangan bulat yang ada masih menunjukkan penilaian yang agak kasar. Untuk
itulah maka dengan menggunakan skala 1-100, dimungkinkan melakukan penilaian
yang lebih halus karena terdapat 100 bilangan bulat. Nilai 5,5 dan 6,4 dalam skala
1-10 yang biasanya dibulatkan menjadi 6, dalam akala 1-100 ini boleh dituliskan
dengan 55 dan 64. Nilai dengan menggunakan skala 100 disebut skor
T yang bergerak pada interval 0 sampai dengan 100. Nilai dengan menggunakan
skala 100 ini didasari oleh nilai z.
3. Skala baku (skor Z dan
skor T )
Skala baku (standar)
disebut juga skala z, dan nilainya disebut nilai baku atau nilai z. Dasarnya
adalah kurva normal baku yang memiliki nilai rerata = 0 dan simpangan baku s = 1.
4. Skala Huruf (skala lima)
Skala lima disebut
juga dengan skala huruf karena nilai akhir tidak dinyatakan dengan angka
(bilangan), malainkan dengan huruf A, B, C, D, dan E. Beberapa pakar evaluasi
pendidikan ada pula yang menggunakan huruf F (failure) atau huruf G
(gagal) sebagai pengganti nilai E.
2.2 Pemberian Skor Tes
pada Domain Kognitif
a. Penskoran
Soal Bentuk Pilihan Ganda
Cara penskoran tes
bentuk pilihan ganda ada tiga macam, yaitu: pertama penskoran tanpa ada koreksi
jawaban, penskoran ada koreksi jawaban, dan penskoran dengan butir beda bobot.
1) Penskoran tanpa koreksi, yaitu penskoran dengan cara setiap butir soal yang dijawab
benar mendapat nilai satu (tergantung dari bobot butir soal), sehingga jumlah
skor yang diperoleh peserta didik adalah dengan menghitung banyaknya butir soal
yang dijawab benar. Rumusnya sebagai berikut.
B = banyaknya butir yang dijawab benar
N = adalah banyaknya butir soal
Contohnya adalah sebagai berikut :
Pada suatu soal tes ada 50 butir, Budi
menjawab benar 25 butir, maka skor yang dicapai Budi adalah:
2) Penskoran ada koreksi jawaban, yaitu pemberian skor
dengan memberikan pertimbangan pada butir soal yang dijawab salah dan tidak
dijawab, adapun rumusnya adalah
sebagai berikut:
B: Banyaknya soal yang
dijawab benar
S: Banyaknya soal yang
dijawab salah
P: Banyaknya pilihan
jawaban tiap butir
N: Banyaknya butir
soal
Contoh :
Pada soal bentuk
pilihan ganda yang terdiri dari 40 butir soal dengan 4 pilihan tiap butir dan
banyaknya 40 butir, Amir dapat menjawab benar 20 butir, menjawab salah 12 butir
dan tidak dijawab ada 8 butir, maka skor yang diperoleh Amir adalah:
3) Penskoran dengan butir beda bobot, yaitu pemberian skor dengan memberikan bobot
berbeda pada sekelompok butir soal. Biasanya bobot butir soal menyesuaikan dengan
tingkatan kognitif (pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan
evaluasi) yang telah dikontrak guru. Anda juga dapat membedakan bobot butir
soal dengan cara lain, misalnya ada sekelompok butir soal yang dikembangkan
dari buku pegangan guru dan sekelompok yang lain dari luar buku pegangan diberi
bobot berbeda, yang pertama satu, yang lain dua. Adapun rumusnya sebagai
berikut.
Bi = banyaknya butir soal yang dijawab benar peserta tes
bi = bobot setiap butir soal
St = skor teoritis (skor bila menjawab benar semua butir soal)
Contoh:
Pada suatu soal tes matapelajaran IPA
berjumlah 40 butir yang terdiri dari enam tingkat domain kognitif diberi bobot
sebagai berikut: pengetahuan bobot 1, pemahaman 2, penerapan 3, analisis 4,
sintesis 5, dan evaluasi 6.
Yoyok dapat menjawab benar 8 butir soal domain
pengetahuan dari 12 butir, 12 butir dari 20 butir soal pehamanan, 2 butir soal
penerapan dari 4 butir, 1 butir soal analisis dari 2 butir, dan 1 butir soal
sintesis dan evaluasi masing-masing 1 butir. Berapakah skor yang diperoleh
Yoyok?
Untuk mempermudah memberi skor disusun Tabel
6.1. sebagai berikut.
Tabel 6.1. Contoh Pemberian Skor
Jadi skor yang
diperoleh Yoyok adalah 63,9%, artinya Yoyok dapat menguasai tes matapelajaran
IPA sebesar 63,9%
b. Penskoran
Soal Bentuk Uraian Objektif
Pada bentuk soal
uraian objektif, biasanya langkah-langkah mengerjakan dianggap sebagai
indikator kompetensi para peserta didik. Oleh sebab itu, sebagai pedoman
penskoran dalam soal bentuk uraian objektif adalah bagaimana langkah-langkah
mengerjakan dapat dimunculkan atau dikuasai oleh peserta didik dalam lembar
jawabannya.
Untuk membuat pedoman
penskoran, sebaiknya melihat kembali rencana kegiatan pembelajaran untuk
mengidentifikasi indikator-indikator tersebut. Perhatikan contoh berikut.
Indikator : Peserta didik dapat menghitung isi bangun ruang
(balok) dan mengubah satuan ukurannya.
Butir soal :
Sebuah bak mandi berbentuk balok berukuran
panjang 150 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 75 cm. Berapa literkah isi bak mandi
tersebut? (untuk menjawabnya tuliskan langkah-langkahnya!)
Tabel 6.2. Pedoman penskoran uraian objektif
c. Penskoran Soal Bentuk Uraian Non-Objektif
Prinsip penskoran soal
bentuk uraian non-objektif sama dengan bentuk uraian objektif yaitu menentukan
indikator kompetensinya. Perhatikan contoh berikut.
Indikator: Peserta didik dapat mendeskripsikan alasan
Warga Negara Indonesia bangga menjadi Bangsa Indonesia.
Butir soal: Tuliskan alasan-alasan yang membuat Anda bangga
sebagai Bangsa Indonesia!
Pedoman penskoran:
Jawaban boleh bermacam-macam namun pada pokok
jawaban tadi dapat dikelompokkan sebagai berikut.
Tabel 6.3. Contoh Pedoman Penskoran
Tidak
ada jawaban yang pasti terhadap tes bentuk uraian ini. Jawaban yang diperoleh
akan sangat beraneka ragam. Untuk menentukan standar lebih dahulu, tentulah
sukar. Sebagai upaya untuk meminimalisir hambatan tersebut adalah dengan
mengikuti beberapa langkah-langkah berikut yang harus dilakukan guru pada waktu
mengoreksi dan memberi angka tes bentuk uraian. Beberapa hal yang harus
diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Membaca soal pertama
dari seluruh siswa untuk mengetahui situasi jawaban. Dengan membaca seluruh
jawaban, guru dapat memperoleh gambaran lengkap tidaknya jawaban yang diberikan
siswa secara keseluruhan.
2. Menentukan angka untuk
soal pertama tersebut. Misalnya, jika jawabannya lengkap diberi angka 5, kurang
sedikit diberi angka 4, begitu seterusnya sampai kepada jawaban yang paling
rendah. Dalam menentukan angka pada hal yang terakhir ini umumnya kita perlu
berpikir bahwa tidak ada unsur tebakan. Dengan demikian ada dua pendapat, satu
pendapat menentukan angka 1 atau 2 bagi jawaban yang salah, tetapi pendapat
lain menentukan angka 0 untuk jawaban itu. Tentu saja bagi jawaban yang kosong
(tidak ada jawaban sama sekali), jelas diberikan angka 0.
3. Memberikan angka bagi
soal pertama
4. Membaca soal kedua
dari seluruh siswa untuk mengetahui situasi jawaban, dilanjutkan dengan
pemberian angka untuk soal kedua.
5. Mengulangi
langkah-langkah tersebut untuk tes soal berikutnya, dan seterusnya hingga
seluruh soal diberi angka.
6. Menjumlahkan
angka-angka yang diperoleh oleh masing-masing siswa untuk tes bentuk uraian.
Setelah mempelajari
hal-hal tersebut, dapat kita simpulkan bahwa dengan membaca terlebih dahulu
seluruh jawaban yang diberikan oleh siswa, kita menjadi tahu bahwa mungkin
tidak ada seorang pun dari siswa yang menjawab dengan betul untuk sesuatu nomor
soal.
Menghadapi
situasi seperti ini, kita gunakan cara pemberian angka yang relatif. Misalnya,
untuk sesuatu nomor soal jawaban yang paling lengkap hanya mengandung 3 unsur,
padahal kita menghendaki 5 unsur, maka kepada jawaban yang paling lengkap
itulah kita berikan angka 5, sedangkan untuk yang menjawab hanya 2 atau 1
unsur, kita beri angka lebih sedikit, yaitu misalnya 3,5; 2; 1,5 dan
seterusnya.
Dengan
cara ini maka pemberian angka pada tes bentuk uraian tidak akan dapat konsisten
atau tetap dari kelas ke kelas atau dari tahun ke tahun.
Uraian
penjelasan di atas ini adalah cara memberikan angka dengan menggunakan atau
mendasarkan pada norma kelompok (norm referenced test). Apabila dalam
memberikan angka menggunakan atau mendasarkan pada standar mutlak (criterion referenced
test),
maka langkah-langkah yang dilakukan akan berbeda. Hal-hal yang harus
diperhatikan ulang adalah sebagai berikut:
1. Membaca setiap jawaban
yang diberikan oleh siswa dan dibandingkan dengan kunci jawaban yang telah
disusun
2. Membubuhkan skor di
sebelah kiri setiap jawaban. Ini dilakukan per nomor soal.
3. Menjumlahkan skor-skor
yang telah dituliskan pada setiap soal, dan terdapatlah skor untuk bagian soal
yang berbentuk uraian.
Dengan cara kedua ini
maka skor siswa tidak dibandingkan dengan jawaban yang paling lengkap yang
diberikan oleh siswa lain, tetapi dibandingkan dengan jawaban lengkap yang
dikehendaki dan sudah ditentukan oleh guru.
d. Pembobotan Soal Bentuk Campuran
Dalam beberapa situasi
bisa digunakan soal bentuk campuran, yaitu bentuk pilihan dan bentuk uraian.
Pembobotan soal bagian soal bentuk pilihan ganda dan bentuk uraian ditentukan
oleh cakupan materi dan kompleksitas jawaban atau tingkat berpikir yang
terlibat dalam mengerjakan soal. Pada umumnya cakupan materi soal bentuk
pilihan ganda lebih banyak, sedang tingkat berpikir yang terlibat dalam mengerjakan soal bentuk uraian biasanya lebih
banyak dan lebih tinggi.
Suatu ulangan terdiri
dari n1 soal pilihan ganda dan n2 soal uraian. Bobot untuk soal pilihan ganda
adalah w1 dan bobot untuk soal uraian adalah w2. Jika seorang peserta didik
menjawab benar n1 pilihan ganda, dan n2 soal uraian, maka peserta didik tersebut
mendapat skor:
Contoh:
Suatu ulangan terdiri dari 20 bentuk pilihan
ganda dengan 4 pilihan, dan 4 buah soal bentuk uraian. Titi dapat menjawab
benar soal pilihan ganda 16 butir dan salah 4 butir, sedang bentuk uraian bisa
dijawab benar 20 dari skor maksimum 40. Apabila bobot pilihan ganda adalah 0,40
dan bentuk uraian 0,60, maka skor yang diperoleh Titi dapat dihitung sebagai
berikut.
a. skor pilihan ganda tanpa koreksi jawaban dugaan : (16/20)x100 =
80
b. skor bentuk uraian adalah : (20/40)x100 = 50
c. skor akhir adalah : 0,4 x (80) + 0,6 x (50) = 62
e. Penskoran Bentuk Soal
Benar-Salah
Pada tes dengan menggunakan instrumen soal benar-salah, testee (tercoba) hanya
diminta melingkari huruf B atau S, sehingga kunci jawaban yang disediakan hanya
berbentuk urutan nomor serta huruf dimana kita menghendaki untuk melingkari
(atau dapat juga diberi tanda X).
Contoh:
1. B
6. S
2. S
7. B
3. S
8. S
4. B
9. S
5. B
10. B (dan seterusnya)
Ada baiknya kunci jawaban ini ditentukan terlebih dahulu sebelum menyusun
soalnya dengan tujuan sebagai berikut:
- Dapat diketahui
imbangan antara jawab B dan S
- Dapat diketahui letak
atau pola jawaban B dan S
Bentuk betul-salah sebaiknya disusun sedemikian rupa sehingga jumlah jawaban B
hampir sama banyaknya dengan jawaban S, dan tidak dapat ditebak karena tidak
diketahui pola jawabannya. Dalam menentukan angka (skor) untuk tes bentuk B-S
ini kita dapat menggunakan 2 (dua) cara, yaitu tanpa hukuman atau tanpa denda adalah
apabila banyaknya angka yang diperoleh siswa sebanyak jawaban yang cocok dengan
kunci dan dengan hukuman atau dengan denda
Dengan hukuman yaitu
apabila terdapat keraguan adanya unsur tebakan.
Rumus yang digunakan
adalah sebagai berikut:
- Pertama dengan
rumus,
dimana, S: Score
R: Right
W: Wrong
Skor yang diperoleh
siswa sebanyak jumlah soal yang benar dikurangi dengan jumlah soal yang salah.
Contoh:
· Banyak soal = 10
· Jawaban benar = 8
· Jawaban salah = 2 buah
· Angkanya adalah 8-2 =
6
- Kedua dengan
rumus,
Dimana, T adalah
singkatan dari Total, artinya jumlah soal dalam tes.
Contoh:
· Banyaknya soal = 10
buah
· Jawaban salah = 2 buah
· Angkanya adalah
f. Pemberian Skor Bentuk
Soal Jawab Singkat (Short Answer Test)
Tes bentuk jawab singkat adalah bentuk tes yang menghendaki jawaban berbetuk
kata atau kalimat pendek. Melihat namanya, maka jawaban untuk tes tersebut
tidak boleh berbentuk kalimat-kalimat panjang, tetapi harus sesingkat mungkin
dan mengandung satu pengertian. Dengan persyaratan inilah maka bentuk tes ini
dapat digolongkan ke dalam bentuk tes objektif.
Tes bentuk isian,
dianggap setaraf dengan tes jawab singkat ini, kunci jawaban tes bentuk ini
merupakan deretan jawaban sesuai dengan nomornya.
Contoh:
1. Berat jenis
2. Mengembun
3. Komunitas
4. Populasi
5. Energi
Pemberian skor pada bentuk tes ini adalah dengan mengingat jawaban yang hanya
satu pengertian saja, maka angka bagi tiap nomor soal mudah ditebak. Usaha yang
dikeluarkan oleh siswa sedikit, tetapi lebih sulit daripada tes bentuk
benar-salah atau bentuk pilihan ganda. Sebaiknya tiap soal diberi angka 2 (dua).
Dapat juga angka itu kita samakan dengan angka pada bentuk benar-salah atau
bentuk pilihan ganda jika memang jawaban yang diharapkannya ringan atau mudah.
Tetapi sebaliknya apabila jawabannya bervariasi misalnya lengkap sekali,
lengkap dan kurang lengkap, maka angkanya dapat dibuat bervariasi pula misalnya
2; 1,5; dan 1.
g. Pemberian Skor Bentuk
Soal Menjodohkan (Matching)
Pada dasarnya tes bentuk menjodohkan adalah tes bentuk pilihan ganda, dimana
jawaban-jawaban dijadikan satu, demikian pula pertanyaan-pertanyaannya. Dengan
demikian, maka pilihan jawabannya akan lebih banyak. Satu kesulitan lagi adalah
bahwa jawaban yang dipilih dibuat sedemikian rupa sehingga jawaban yang satu
tidak diperlukan lagi untuk pertanyaan lain.
Kunci jawaban tes
bentuk menjodohkan dapat berbentuk deretan jawaban yang dikehendaki atau
deretan nomor yang diikuti oleh huruf-huruf yang terdapat di depan alternatif
jawaban.
Contoh:
1. Tahun 1922 atau 1. F
2. Imam bonjol atau 2. C
3. Perang padri atau 3. H
4. Teuku umar atau 4. A
5. P. Diponegoro atau 5.
B
Telah dijelaskan bahwa tes bentuk menjodohkan adalah tes bentuk pilihan ganda
yang lebih kompleks. Maka angka yang diberikan sebagai imbalan juga harus lebih
banyak. Sebagai acuan dapat ditentukan bahwa angka untuk tiap nomor adalah 2
(dua).
h. Pemberian Skor Pada
Tugas
Kunci jawaban untuk memeriksa tugas merupakan pokok-pokok yang harus termuat di
dalam pekerjaan siswa. Hal ini menyangkut kriteria tentang isi tugas. Namun
sebagai kelengkapan dalam pemberian skor, digunakan suatu tolak ukur tertentu.
Tolak ukur yang disarankan ini digunakan sebagai ukuran keberhasilan tugas
adalah sebagai berikut:
1. Ketepatan waktu
penyerahan tugas
2. Bentuk fisik
pengerjaan tugas yang menandakan keseriusan siswa dalam mengerjakan tugas
3. Sistematika yang
menunjukkan alur keruntutan berfikir
4. Kelengkapan isi
menyangkut ketuntasan penyelesaian dan kepadatan isi
5. Mutu hasil tugas,
yaitu kesesuaian hasil dengan garis-garis yang sudah ditentukan oleh guru
Dalam mempertimbangkan nilai akhir perlu dipikirkan peranan masing-masing aspek
kriteria tersebut, misalnya:
A1 - ketepatan
waktu, diberikan bobot 2
A2 - bentuk
fisik, diberi bobot 1
A3 -
sistematika, diberi bobot 3
A4 - kelengkapan
isi, diberi bobot 3
A5 - mutu hasil,
diberi bobot 3
Maka nilai akhir untuk
tugas tersebut diberikan dengan rumus:
2.3 Pemberian Skor Tes Pada Domain Afektif
Domain
afektif ikut menentukan keberhasilan belajar peserta didik.Sedikitnya terdapat 2 (dua) komponen dalam domain afektif yang penting untuk diukur, yaitu
sikap dan minat terhadap suatu pelajaran. Sikap peserta didik terhadap
pelajaran bisa positif bisa negatif atau netral. Tentu diharapkan sikap peserta
didik terhadap semua mata pelajaran positif sehingga akan timbul minat untuk
belajar atau mempelajarinya. Peserta didik yang memiliki minat pada pelajaran
tertentu bisa diharapkan prestasi belajarnya akan meningkat secara optimal,
bagi yang tidak berminat sulit untuk meningkatkan prestasi belajarnya. Oleh
karena itu, guru memiliki tugas untuk membangkitkan minat kemudian meningkatkan
minat peserta didik terhadap mata pelajaran yang diampunya. Dengan demikian
akan terjadi usaha yang sinergi untuk meningkatkan kualitas proses
pembelajaran.
Langkah
pembuatan instrumen domain afektif termasuk sikap dan minat adalah sebagai
berikut:
a. Pilih ranah afektif yang akan dinilai, misalnya sikap atau
minat.
b. Tentukan indikator minat: misalnya kehadiran di kelas, banyak
bertanya, tepat waktu mengumpulkan tugas, catatan di buku rapi, dan sebagainya.
Hal ini selanjutnya ditanyakan pada peserta didik.
c. Pilih tipe skala yang digunakan, misalnya Likert dengan 5 skala:
sangat berminat, berminat, sama saja, kurang berminat, dan tidak berminat.
d. Telaah instrumen oleh
sejawat.
e. Perbaiki instrumen.
f. Siapkan kuesioner atau inventori laporan diri.
g. Skor inventori.
h. Analisis hasil inventori skala minat dan skala sikap.
Contoh:
Instrumen untuk mengukur minat peserta didik
yang telah berhasil dibuat ada 10 butir. Jika rentangan yang dipakai adalah 1
sampai 5, maka skor terendah seorang peserta didik adalah 10, yakni dari 10 x 1
dan skor tertinggi sebesar 50, yakni dari 10 x 5. Dengan demikian, mediannya
adalah (10 + 50)/2 atau sebesar 30. jika dibagi menjadi 4 kategori, maka skala
10-20 termasuk tidak berminat, 21 sampai 30 kurang berminat, 31 – 40 berminat,
dan skala 41 – 50 sangat berminat.
2.4 Pemberian Skor Tes pada Domain Psikomotor
a.
Penyusunan Tes Psikomotor
Tes untuk
mengukur ranah psikomotor adalah tes untuk mengukur penampilan atau kinerja (performance) yang telah dikuasai peserta didik. Tes
tersebut menurut Lunetta dkk. (1981) dalam Majid (2007) dapat berupa tes paper and pencil, tes identifikasi, tes simulasi, dan tes
unjuk kerja.
Skala
penilaian cocok untuk menghadapi subjek yang jumlahnya sedikit. Perbuatan yang
diukur menggunakan alat ukur berupa skala penilaian terentang dari sangat tidak
sempurna sampai sangat sempurna. Jika dibuat skala 5, maka skala 1 paling tidak
sempurna dan skala 5 paling sempurna.
Misal
dilakukan pengukuran terhadap keterampilan peserta didik menggunakan
thermometer badan. Untuk itu dicari indikator-indikator apa saja yang
menunjukkan peserta didik terampil menggunakan thermometer tersebut, misal
indikator-indikator sebagai berikut:
1) Cara mengeluarkan termometer dari tempatnya.
2) Cara menurunkan posisi air raksa
serendah-rendahnya.
3) Cara memasang termometer pada tubuh orang yang
diukur suhunya.
4) Lama waktu pemasangan termometer pada tubuh
orang yang diukur suhunya.
5) Cara mengambil termometer dari tubuh orang
yang diukur suhunya.
6) Cara membaca tinggi air raksa dalam pipa
kapiler termometer.
Dari
contoh cara pengukuran suhu badan menggunakan skala penilaian, ada 6 butir soal
yang dipakai untuk mengukur kemampuan seorang peserta didik jika untuk butir 1
peserta didik yang bersangkutan memperoleh skor 5 berarti sempurna/benar, butir
2 memperoleh skor 4 berarti benar tetapi kurang sempurna, butir 3 memperoleh
skor 4 berarti juga benar tetapi kurang sempurna, butir 4 memperoleh skor 3
berarti kurang benar, butir 5 memperoleh skor 3 berarti kurang benar, dan butir
6 juga memperoleh skor 3 berarti kurang benar, maka total skor yang dicapai
peserta didik tersebut adalah (5 + 4 + 4 + 3 + 3 + 3) atau 22. Seorang peserta
didik yang gagal akan memperoleh skor 6, dan yang berhasil melakukan dengan
sempurna memperoleh skor 30; maka median skornya adalah (6 + 30)/2 = 18. Jika
dibagi menjadi 4 kategori, maka yang memperoleh skor 6 – 12 dinyatakan gagal,
skor 13 – 18 berarti kurang berhasil, skor 19 – 24 dinyatakan berhasil, dan
skor 25 – 30 dinyatakan sangat berhasil. Dengan demikian peserta didik dengan
skor 21 dapat dinyatakan sudah berhasil tetapi belum sempurna/belum sepenuhnya
baik jika sifat keterampilannya adalah absolut, maka setiap butir harus dicapai
dengan sempurna (skala 5). Dengan demikian hanya peserta didik yang memperoleh
skor total 30 yang dinyatakan berhasil dan dengan kategori sempurna.
Tabel 6.4. Kisi-kisi soal ujian bisa sebagai berikut
2.5 Hambatan Dan
Solusi Dalam Pemberian Skor
Adakalanya guru dituntut untuk memberikan nilai terhadap prestasi belajar siswa
tanpa memberikan skor terlebih dahulu. Misalnya, pada waktu ujian lisan.
Apabila nilai ujian diberikan terhadap setiap butir pertanyaan, maka akan cukup
memadahi. Tetapi hal yang perlu diperhatikan adalah munculnya unsur
subjektifitas sehingga guru seringkali melakukan hal-hal diluar keadilan.
Contohnya adalah guru yang berkali-kali menunjukkan kepuasannya terhadap hasil
belajar siswa dan bagaimana guru tersebut mempertahankan seorang siswa.
Subjektifitas tidak hanya berimplikasi pada kredibilitas nilai yang dihasilkan
saja tetapi juga berdampak pada kriteria dalam pengukuran tingkat pencapain
hasil belajar yang dimaksud.
Dalam menentukan nilai terhadap tiap-tiap aspek ini pun kita dituntut untuk
memberikan pertimbangan yang didasari oleh kebijaksanaan. Sebenarnya guru dapat
mengambil beberapa langkah sebagai dasar untuk meminimalisir kesulitan
objektifitas penilaian tersebut yaitu dengan cara sebagai berikut:
1) Bertitik tolak dari batas bawah, yaitu berpikir pekerjaan yang jelek diberi
nilai berapa, kemudian membandingkan hasil pekerjaan yang kita hadapi dengan
nilai batas bawah tersebut. Dari batas bawah ini kita memberikan
tambahn nilai sebanyak jarak antara nilai batas bawah dengan pekerjaan siswa.
Jadi, kita berangkar dari bawah, lalu naik ke atas. Menurut pengalaman,
oemberian nilai dengan cara ini cenderung menghasilkan nilai rendah.
2) Bertitik tolak dari
plafon atau batas atas. Dengan cara ini kita berpikir mengenai
kesempurnaan pekerjaa, tetapi diukur menurut ukuran siswa, bukan diukur dengan
kemampuan guru. Selanjutnya berangkat dari nilai batas atas tersebut kita
kurangkan sedikit-sedikit sejauh kesenjangan antara nilai batas dengan
pekerjaan siswa yang dihadapi. Jadi, kita berangkat dari atas kemudian turun ke
bawah. Menurut pengalaman, pemberian nilai dengan cara ini cenderung
menghasilkan nilai yang tinggi.
Cara-cara seperti
diatas dapat juga diterapkan untuk menilai tugas-tugas yang sifatnya relatif
dan cenderung menimbulkan subjektifitas.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara umum faktor
yang mempengaruhi skor adalah hal yang permanen dalam diri siswa,
hal yang temporer dalam diri siswa, penyelenggaraan, dan hal yang tidak
pernah diperhitungkan lainnya. Tes objektif menganut prinsip penskoran
dikotomi, benar diberi angka 1 dan salah diberi angka 0. Sedangkan, tes
subjektif menganut prinsip penskoran politomi,benar diberi angka 1 dan salah
tidak diberi angka 0.
Penskoran adalah pembuatan skor hasil tes
prestasi peserta didik berdasarkan model tipe soal dan pembobotannya pada suatu perangkat tes, umumnya
hasil penskoran dirupakan dalam bentuk angka.
Untuk bentuk soal tes
objektif bisa digunakan rumus yang masing- masing telah di tentukan.
Cara menskor soal-soal essay sebaiknya menilai dari ukuran hasil belajar yang sedang
diukur, lalu mengevaluasi semua jawaban-jawaban siswa soal demi soal tanpa mengetahui
identitas atau nama murid yang mengerjakan jawaban tersebut.
Dalam membuat penskoran dan pembobotan butir soal
suatu tes, maka yang harus diperhatikan adalah tingkatan dalam setiap domain
(kognitif, afektif, dan psikomotor). Bentuk perangkat tes yang baik adalah tes
yang butir-butir soalnya disusun dengan memperhatikan komponen-komponen
tingkatan dalam suatu domain dan tersusun lebih dari satu bentuk tes.
Sebelum atau selama
pembuatan soal tes, guru harus merencanakan bentuk-bentuk penskoran yang akan
diberlakukan. Hal ini akan dapat membantu guru dalam melaksanakan prinsip objektif dan
metodik dalam kegiatan penskoran sehingga tidak terkesan asal memberi skor.
Hasil penskoran yang terencana akan memudahkan kegiatan berikutnya dalam
penilaian, yaitu mengkonversi skor hasil belajar menjadi skor prestasi atau
nilai standar.
3.2 Saran
Sebagai
seorang guru dituntut untuk memiliki kompetensi yang profesional dalam
memberikan skor atau nilai kepada siswa. Hal ini perlu diperhatikan oleh guru
karena hasil dari skoring memiliki implikasi yang luas dan kompleks, tidak
hanya pada siswa tetapi juga pihak-pihak yang berkepentingan terhadap nilai
tersebut. Maka dari itu, guru harus memiliki pengetahuan yang cukup dan
ketrampilan yang profesional dalam memberikan penilaian terhadap hasil belajar
siswa sehingga dapat benar-benar merepresentasikan capaian hasil belajar
siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto,
Suhasimi.2011.Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan.Ed.Revisi, Cet.12. Jakarta: Bumi Aksara.
Purwanto, Ngalim.
2009. Prinsip-prinsip dan Tehnik Evaluasi Pembelajaran.Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Reksaayu,
Sagitri. 2012. (Online), (http://sagitrikuntireksaayu.blogspot.com/2012/05/pemberian-skor-verifikasi-dan-standar.html), diakses 17 Maret
2015.
http://mtsmaarif18.blogspot.com/
Ahmadurrahman.2010.(Online),(http://pjjpgsd.dikti.go.id/file.php/1/repository/dikti/Mata%20Kuliah%20Awal/Assesment%20Pembelajaran/BAC/assessmen_pembelajaran_6.pdf), diakses 17 Maret
2015.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar