Perkembangan Jiwa Beragama Pada Anak
|
September 5
2016
|
|
Di Susun Oleh: MISIYEM
|
|
|
Disusun Oleh : Misiyem
Mapel :
Spikologi Agama
Pembimbing : Bp Mulyana, M.Pd.I
|
DAFTAR ISI
|
|
Daftar Isi
……………………………………………………. ……………………………………….
|
1
|
|
|
BAB I
……………………………………………………………………………………………………
|
2
|
|
I
|
Pendahuluan…………………………………………………………………………………………
|
2
|
|
A
|
Latar
Belakang ……………………………………………………………………………………..
|
2
|
|
B
|
Rumus
Masalah……………………………………………………………………………………..
|
2
|
|
|
BAB II …………………………………………………………………………………………………..
|
2
|
|
II
|
Pembahasan
…………………………………………………………………………………………
|
2
|
|
A.
|
Teori Tentang Sumber Kejiwaan Agama ………………………………………………..
|
2
|
|
B.
|
Timbulnya
Jiwa Keagamaan Pada Anak …………………………………………………
|
4
|
|
C.
|
Perkembangan
Agama Pada Anak-Anak ………………………………………………...
|
6
|
|
D.
|
Sifat
sifat Agama Pada Anak-Anak …………………………………………………………
|
7
|
|
|
BAB III
…………………………………………………………………………………………………
|
8
|
|
IV
|
Penutup
……………………………………………………………………………………………….
|
10
|
|
A.
|
Kesimpulan
………………………………………………………………………………………….
|
10
|
|
|
Lampiran
……………………………………………………………………………………………..
|
11
|
|
|
Daftar
Pustaka ……………………………………………………………………………………..
|
12
|
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun
psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan
yang bersifat laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui
bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini.
Menurut beberapa ahli anak dilahirkan bukanlah sebagai
makhluk yang religious. Adapula yang berpendapat sebaliknya bahwa anak sejak
dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi di
kemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap
kematangan.
Dalam makalah ini akan membahas tentang tahapan
pertumbuhan dan perkembangan jiwa keagamaan pada anak.
B.
Rumusan Masalah
A. Apa saja Teori tentang
Sumber Kejiwaan Agama ?
B. Bagaimana Timbulnya Jiwa
Keagamaan pada Anak ?
C. Bagaimana Perkembangan
Agama pada Anak-anak ?
D. Apa saja sifat-sifat Agama
pada Anak-anak
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Tentang
Sumber Kejiwaan Agama
Hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat, bahwa sesungguhnya apa yang
menjadi keinginan dan kebutuhan manusia itu bukan hanya terbatas pada kebutuhan
makan, minum, pakaian ataupun kenikmatan-kenikmatan lainnya. Berdasarkan hasil
riset dan observasi mereka mengambil kesimpulan bahwa pada diri manusia
terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal. Kebutuhan ini
melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi kebutuhan akan
kekuasaan. Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan kodrati,
berupa keinginan untuk mencita dan dicintai Tuhan.
Berdasarkan kesimpulan di atas manusia ingin mengabdikan
dirinya kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggapnya sebagai Zat yang mempunyai
kekuasaan tertinggi. Keinginan itu terdapat pada setiap kelompok, golongan atua
masyarakat manusia dari yang paling primitive hingga yang paling modern.
Pernyataan yang timbul adalah : apakah yang menjadi
sumber pokok yang mendasarkan timbulnya keinginan untuk mengabdikan diri kepada
Tuhan itu? Atau dengan kata lain “Apakah yang menjadi sumber kejiwaan
agama itu”?
Untuk memberikan jawab itu telah timbul beberapa teori
antara lain :
1. Teori Monistik :
(Mono=Satu)
Teori monistik berpendapat, bahwa yang menjadi sumber
kejiwaan agama itu adalah satu sumber kejiwaan. Selanjutnya sumber tunggal
manakah yang dimaksud yang paling dominan sebagai sumber kejiwaan itu timbul
beberapa pendapat, yaitu yang dikemukakan oleh :
a. Thomas Van Aquino
Sesuai dengan masanya Thomas Aquino mengemukakan, bahwa
yang menjadi sumber kejiwaan agama itu, ialah berpikir. Manusia ber-Tuhan
karena manusia menggunakan kemampuan berpikirnya. Kehidupan beragama merupakan
refleksi dari kehidupan berpikir manusi itu sendiri. Pandangan semacam ini
masih tetap mendapat tempatnya hingga sekarang di mana para ahli mendewakan
rasio sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber agama.
b. Fredrick Hegel
Hampir sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Thomas
Van Aquino, maka filosof Jerman ini berpendapatk agama adalah suatu pengetahuan
yang sungguh-sungguh benar dan tempat kebenaran abadi.
2. Teori Fakulti (Faculty
Theory)
Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia tidak
bersumber pada suatu faktor yang tunggal
tetapi terdiri atas beberapa unsure, antara lain yang dianggap memegang peranan
penting adalah : fungsi cipta (reason),
rasa (emotion) dan karsa (will).
Demikian pula perbuatan manusia yang bersifat keagamaan
dipengaruhi dan ditentukan oleh tiga fungsi tersebut :
1. Cipta (reason)
berperanan untuk menentukan benar atau tidaknya ajaran suatu agama berdasarkan
pertimbangan intelek seseorang.
2. Rasa(emotion)
menimbulkansikap batin yang seimbang dan positif dalam menghayati kebenaran
ajaran agama.
3. Karsa (will)
menimbulkan amalan-amalan atau doktrin keagamaan yang benar dan logis.
Salah satu tokoh yang menggunakan teori ini adalah Zakiah
Daradjat.
Zakiah Daradjat
Dr. Zakiah Daradjat berpendapat bahwa pada diri manusia
itu terdapat kebutuhan pokok. Beliau mengemukakan, bahwa selain dari kebutuhan
jasmani dan kebutuhan rohani manusia pun mempunyai suatu kebutuhan akan adanya
kebutuhan akan keseimbangan dalam kehidupan jiwanya agar tidak mengalami
tekanan.
Unsur-unsur kebutuhan yang dikemukakan yaitu :
1. Kebutuhan akan rasa kasih sayang; kebutuhan yang
menyebabkan manusia mendambakan rasa kasiha. Sebagai pernyataan tersebut dalam
bentuk negatifnya dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya :
mengeluh, mengadu, menjilat kepada atasan mengambinghitamkan orang dan lain
sebagainya.
Akibat dari tidak terpenuhinya kebutuhan ini maka akan
timbul gejala psiko-somatis misalnya ; hilang nafsu makan, pesimis, keras
kepala, kurang tidur dan lain-lain.
2. Kebutuhan akan rasa aman; kebutuhan yang mendorong manusi
mengharapkan adanya perlindungan. Kehilangan rasa aman ini akan mengakibatkan
manusia sering curiga, nakal, mengganggu, membela diri, mengguakan jimat-jimat
dan lain-lain. Kenyataan dalam kehidupan ialah adanya kecenderungan manusia
mencari perlindungan dari kemungkitan gangguan terhadap dirinya, misalnya:
system perdukunan, pertapaan dan lain-lain.
3. Kebutuhan akan rasa harga diri, kebutuhan yang bersifat
individual yang mendoron manusia agar dirinya dihormati dan diakui oleh orang
lain. Dalam kenyataan terlihat mislnya; sikap sombong, ngambek, sifat sok tahu
dan lain-lain. Kehilangan rasa harga diri ini akan mengakibatkan tekanan batin,
misalnya sakit jiwa: delusi dan illusi.
4. Kebutuhan akan rasa bebas: kebutuhan yang menyebabkan
seseorang bertindak secara bebas, untuk mencapai kondisi dan situasi rasa lega.
5. Kebutuhan akan rasa sukses: kebutuhan manusia yang
menyebabkan ia mendambakan rasa keinginan untuk dibina dalam bentuk penghargaan
terhadap hasil karyanya. Jika kebutuhan akan rasa sukses ini ditekan, maka
seseorang yang mengalami hal tersebut akan kehilangan harga dirinya.
6. Kebutuhan akan rasa ingin tahu (mengenal); kebutuhan yang
menyebabkan manusia selalu meneliti dan menyelidiki sesuatu. Jika kebutuhan ini
diabaikan akan mengakibatkan tekanan batin, oleh karena itu kebutuhan ini harus
disalurkan untuk memenuhi pemuasan pembinaan pribadinya.
Menurut Dr. Zakiah Darajat selanjutnya gabungan dari
keenam macam kebutuhan tersebut menyebabkan orang memerlukan agama. Melalui
agama kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat disalurkan. Dengan melaksanakan ajaran
agama secara baik maka kebutuhan akan rasa kasih saying, rasa aman, rasa harga
diri, rasa bebas, rasa sukses dan rasa ingin tahu akan terpenuhi.
B.
TIMBULNYA JIWA KEAGAMAAN PADA ANAK
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun
psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan
yang bersifat laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui
bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini
Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya maka seorang anak
menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya,
yaitu :
1). Prinsip Biologis
Secara fisik anak yang
baru dilahirkan dalam keadaan lemah. Dalam segala gerak dan tindak tanduknya ia
selalu memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa sekelilingnya. Dengan kata
lain ia belum dapat berdiri sendiri karena manusia bukanlah merupakan makhluk
instinktif. Keadaan tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk difungsikan
secara maksimal.
2). Prinsip tanpa daya
Sejalan dengan belum
sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya maka anak yang baru dilahirkan
hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya. Ia
sama sekali tidak berdaya untuk mengurus dirinya sendiri.
3).Prinsip Eksplorasi
Kemantapan dan
kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawanya sejak lahir baik
jasmani maupun rohani memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan.
Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih.
Akal dan fungsi mental lainnya pun baru akan menjadi baik dan berfungsi jika
kematangan dan pemeliharaan serta bimbingan dapat diarahkan kepada
pengeksplorasian perkembangannya
Kesemuanya itu tidak dapat
dipenuhi secara sekaligus melainkan
melalui pentahapan. Demikian juga perkembangan agama pada diri anak.
Timbulnya Agama Pada Anak
Menurut beberapa ahli anak dilahirkan bukanlah sebagai
makhluk yang religious. Adapula yang berpendapat sebaliknya bahwa anak sejak
dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi di
kemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap
kematangan.
Masalah tersebut marilah kita kemukakan beberapa teori
mengenai pertumbuhan agama pada anak itu antara lain :
1.
Rasa ketergantungan (Sense
of Depende)
Teori ini dikemukakan oleh
Thomas melalui teori Four Wishes. Menurutnya manusia dilahirkan ke dunia ini
memiliki empat keinginan yaitu : keinginan untuk perlindungan (security),
keinginan akan pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapat
tanggapan (response) dan keinginan untuk dikenal (recognition). Berdasarkan
kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan
hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari
lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
2.
Instink Keagamaan
Menurut Woodworth, bayi yang
dilahirkan sudah memiliki beberapa instink di antaranya instink keagamaan.
Belum terlihat tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan
yang menopang kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna. Misalnya
instink social pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai makhluk homo socius,
baru berfungsi setgelah naka dapat bergaul dan berkembang untuk berkomunikasi.
Jadi instink social itu tergantung dari kematangan fungsi lainnya. Demikian
pula instink keagamaan.
C.
PERKEMBANGAN AGAMA PADA ANAK-ANAK
Menurut penelitian Ernest
Harms perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam
bukunya The Development of Religios on Children ia mengatakan bahwa
perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan yaitu :
1.
The Fairy Tale Stage
(Tingkat Dongeng)
Tingkata ini dimulai pada anak yang berusia 3 – 6 tahun.
Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi
dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini akan menghayati konsep ke Tuhanan
sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih
banyak dipengaruhi kehidupan fantasi
hingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi
oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
2.
The Realistic Stage
(Tingkatan Kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga
sampai ke usia (masa usia) adolesense. Pada masa ini die ke Tuhanan anak sudah
mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realis). Konsep
ini timbul melalui lembaga-lembaga
keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide
keagamaan pada anak di dasarkan atas
dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis.
Berdarkan hak itu maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga
keagamaan yang mereka lihat dikelola
oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal)
keagamaan mereka ikuti dan mempelajarinya dengan penuh minat.
3.
The Individual Stage
(Tingkat Individu)
Pada tingkat ini akan telah memiliki kepekaan emosi yang
paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang
individualistis ini terbagi atas tiga golongan, yaitu :
a.
Konsep ke Tuhanan yang
konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal
tersebut disebabkan oleh pengaruh luas.
b.
Konsep ke Tuhanan yang
lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan)
c.
Konsep Ke Tuhanan yang
bersifat humanistic. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam
menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh factor
intern yaitu perkembangan usia dan factor ekstern berupa pengaruh luar yang
dialaminya.
D.
SIFAT-SIFAT AGAMA PADA ANAK-ANAK
Memahami konsep keagamaan
pada anak-anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan cirri
yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas
concept on outhority, ide keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh factor
dari luar diri mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia
muda telah melihat, mempelajari hal-hal yang berada di luar diri mereka. Mereka
telah melihat dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan orang dewasa
dan orang tua mereka tentang sesuatu
yang berhubungan dengan kemaslahatan agama. Orang tua mempunyai pengaruh
terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki. Dengan demikian
ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang
mereka pelajari dan para orang tua maupun guru mereka. Bagi mereka sangat mudah
untuk menerima ajaran dari orang dewasa walaupun belum mereka sadari sepenuhnya
manfaat ajaran tersebut. Berdasarkan hal itu maka bentuk dan sifat agama pada
diri anak dapat dibagi atas :
1.
Unreflective ( Tiak
mendalam)
Dalam penelitian Machion
tentang jumlah konsep ke Tuhanan pada diri anak 73 % mereka menganggap Tuhan
itu bersifat seperti manusia. Dalam suatu sekolah bahkan ada siswa yang
mengatakan bahwa Santa Klaus memotong jenggotnya untuk membuat bantal. Dengan
demikian anggapan mereka terhadap ajara agama dapat saja mereka terima dengan
tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup
sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang
kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian pada beberapa orang anak
terdapat mereka yang memiliki ketajaman pikiran
untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain.
Penelitian Praff mengemukakan dua contoh tentang hal itu
:
a.
Suatu peristiwa seorang
anak mendapat keterangan dari ayahnya
bahwa Tuhan selalu mengabulkan permintaan hamba-Nya. Kebetulan seorang anak
lalu di depan sebuah toko mainan. Sang anak tertarik pada sebuah topi berbentuk
kerucut. Sekembalinya ke rumah ia langsung berdoa kepada Tuhan untuk apa yang
diingininya itu. Karena hal itu diketahui oleh ibunya, maka itu ditegur. Ibunya
berkata bahwa dalam berdoa tak boleh seseorang memaksakan Tuhan untuk mengabulkan
barang yang diinginkannya itu. Mendengar hal tersebut anak tadi langsung
mengemukakan pertanyaan : “ Mengapa “?
b.
Seorang anak perempuan
diberitahukan tentang doa yang dapat menggerakan sebuah gunung. Berdasarkan
pengetahuan tersebut maka pada suatu kesempatan anak itu berdoa selama beberapa
jam agar Tuhan memindahkan gunung-gunung yang ada di daerah Washington ke laut.
Karena keinginannya itu tidak terwujud maka semenjak itu ia tak mau berdoa
lagi.
Dua contoh diaatas menunjukkan bahwa
anak itu sudah menunjukkan pemikiran yang kritis, walaupun bersifat sederhana,
menurut penelitian pikiran kritis baru timbul pada usia 12 tahun sejalan dengan
pertumbuhan moral. Di usia tersebut, bahkan anak kurang cerdas pun menunjukkan pemikiran yang korektif. Di sini menunjukkan
bahwa anak meragukan kebenaran ajaran agama pada aspek-aspek yang bersifat
kongkret.
2.
Egosentris
Anak memiliki kesadaran
akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang
sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai
subur pada diri anak, maka tumbuh keraguan pada rasa egonya. Semakin bertumbuh
semakin meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah
keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep
keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Seorang anak yang
kurang mendapat kasih sayang dan selalu mengalami tekanan akan bersifat
kekanak-kanakan (childish) dan memiliki sifat ego yang rendah. Hal yang
demikian menganggu pertumbuhan keagamaannya.
3.
Anthromorphis
Pada umumnya konsep
mengenai ke Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya ke kala ia
berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ke Tuhanan
mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan.
Melalui konsep yang berbentuk dalam pikiran mereka
menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan
mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat di saat orang itu berada dalam
tempat yang gelap.
Surge terletak di langit dan untuk tempat orang yang
baik. Anak menganggap bahwa Tuhan dapat melihat segala perbuatannya langsung ke
rumah-rumah mereka sebagai layaknya orang mengintai. Pada anak yang berusia 6
tahun menurut penelitian Praff, pandangan anak tentang Tuhan adalah sebagai
berikut :
Tuhan mempunyai
wajah seperti manusia, telinganya lebar dan besar. Tuhan tidak makan tetapi
hanya minum embun.
Konsep ke Tuhanan yang demikian itu mereka bentuk sendiri
berdasarkan fantasi masing-masing.
4.
Verbalis dan Ritualis
Dari kenyataan yang kita
alami ternyata kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula
secara verbal (ucapan). Mereka menghapal secara verbal kalimat-kalimat
keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan
pengalaman menurut tuntutan yang diajarkan kepada mereka. Sepintas lalu hal
tersebut kurang ada hubungannya dengan perkembangan agama pada anak di masa
selanjutnya tetapi menurut penyelidikan hal itu sangat besar pengaruhnya terhadap
kehidupan agama anak itu di usia dewasanya. Bukti menunjukkan bahwa banyak
orang dewasa yang taat karena pengaruh ajaran dan praktek keagamaan yang
dilaksanakan pada masa anak-anak mereka. Sebaliknya belajar agama di usia
dewasa banyak mengalami kesuburan. Latihan-latihan bersifat verbalis dan
upacara keagamaan yang bersifat ritualis (praktek) merupakan hal yang berarti
dan merupakan salah satu cirri dari tingkat perkembangan agama pada anak-anak.
5.
Imitatif
Dalam kehidupan
sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh
anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan sholat misalnya
mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik berupa
pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Pada ahli jiwa menganggap, bahwa
dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan
modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.
Menurut penelitian Gillesphy dan Young terhadap sejumlah
mahasiswa di salah satu perguruan tinggi menunjukkan, bahwa anak yang tidak
mendapat pendidikan agama dalam keluarga tidak akan dapat diharapkan menjadi
pemilik kematangan agama yang kekal.
Walaupun anak mendapat ajaran agama tidak semata-mata
berdasarkan yang mereka memperoleh sejak kecil
namun pendidikan keagamaan (religious paedagogis) sangat mempengaruhi
terwujudnya tingkah laku keagamaan (religious behavior) melalui sifat meniru
itu.
6.
Rasa heran
Rasa heran dan kagum
merupakan tanda dan sifat keagamaan yang
terakhir pada anak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun
psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan
yang bersifat laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui
bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini.
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami
sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan cirri yang mereka miliki, maka sifat
agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on outhority, ide
keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh factor dari luar diri mereka. Hal
tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia muda telah melihat,
mempelajari hal-hal yang berada di luar diri mereka. Mereka telah melihat dan
mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan orang dewasa dan orang tua
mereka tentang sesuatu yang berhubungan
dengan kemaslahatan agama. Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai
dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki. Dengan demikian ketaatan kepada
ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari
dan para orang tua maupun guru mereka. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima
ajaran. Banyak teori yang mengemukakan perkembangan agama pada anak atau
remaja. Namun, sejatinya sama tujuannya yaitu untuk mendapatkan kebenaran agama
yang hakiki.
Lampiran
Daftar Pustaka
Jalaludin.1998.Psikologi
Agama.Jakarta:Grafindo Persada
DIPUBLIKASIKAN WEBSITE http://www.mts18nyukangharjo.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar