Perkembangan Jiwa Beragama Pada Usia Lanjut
|
September
15
2016
|
|
|
|
|


Kata Pengantar
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.
Makalah
ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas
dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir
kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk
masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Kota Batu, 09 September 2016
Penyusun
Triyono
Daftar Isi
Kata Pengantar ……………………………………………………………………………………………………
Daftar Isi
…………………………………………………………………...........................................................
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………………………………….
A.
Latar Belakang ……………………………………………………....................................................
B.
Rumusan Masalah ……………………………………………………………………………………..
C.
Tujuan Penelitian ……………………………………………………………...…….........................
D.
Metode Penelitian ……………………………………………………………………………………..
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………………………...........................
A.
Pengertian Usia Lanjut ………………………………………………………………………………
B.
Perkembangan Agama Pada Usia Lanjut ……………………………………………………
C.
Ciri-ciri Keagamaan Pada Usia Lanjut .............................................................................
D.
Kematangan Beragama Pada Usia Lanjut
.......................................................................
E.
Perlakuan terhadap Usia Lanjut Menurut Islam
..........................................................
F.
Cara Bersikap Pada Manusia Usia Lanjut
........................................................................
BAB III PENUTUP
………………………………………………………………………………………………...
A.
Kesimpulan ………………………………………………………………………………………………
Lampiran ……………………………………………………………………………………………………….
Daftar
Pustaka ………………………………………………………………………………………………..
|
1
2
3
3
4
4
4
5
5
6
6
7
10
10
13
13
14
15
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang eksploratif dan potensial.
Dikatakan makhluk eksploratif, karena manusia memiliki kemampuan untuk
mengembangkan diri baik secara fisik maupun psikis. Manusia disebut sebagai
makhluk potensial, karena pada diri manusia tersimpan sejumlah kemampuan bawaan
yang dapat dikembangkan.
Selanjutnya manusia juga disebut makhluk yang memiliki
prinsip tanpa daya, karena untuk tumbuh dan berkembang secara normal manusia
memerlukan bantuan dari luar dirinya. Bantuan dimaksud antara lain dalam bentuk
bimbingan dan pengarahan dari lingkungannya. Bimbingan dan pengarahan yang
diberikan dalam membantu perkembangan tersebut pada hakikatnya diharapkan
sejalan dengan kebutuhan manusia itu sendiri, yang sudah tersimpan sebagai
potensi bawaannya. Karena itu bimbingan yang tidak searah dengan potensi yang dimiliki
akan berdampak negative bagi perkembangan manusia.
Perkembangan yang negative tersebut akan terlihat
dalam berbagai sikap dan tingkah laku yang menyimpang. Bentuk dan tingkah laku
menyimpang ini terihat dalam kaitannya dengan kegagalannya manusia untuk
memenuhi kebutuhan, baik bersifat fisik maupun psikis. Sehubungan dengan hal
itu, maka dalam mempelajari perkembangan jiwa keagamaan perlu dilihat terlebih
dahulu kebutuhan-kebutuhan manusia secara menyeluruh. Sebab pemenuhan
kebutuhan yang kurang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani akan
menyebabkan timbulnya ketimpangan dalam perkembangan.
Para ahli psikologi perkembangan membagi-bagi
perkembangan manusia berdasarkan usia menjadi beberapa tahapan atau periode
perkembangan. Secara garis besarnya periode perkembangan itu dibagi menjadi: 1)
masa prenatal; 2) masa bayi; 3) masa kanak-kanak; 4) masa pra pubertas; 5) masa
pubertas; 6) masa dewasa; 7) masa usia lanjut, yang pada setiap tahap
perkembangannya memiliki ciri-ciri tersendiri termasuk perkembangan jiwa
keagamaan.
Sehubungan
dengan kebutuhan manusia dari periode perkembangan tersebut, maka dalam
kaitanna dengan perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat bagaimana pengaruh
timbal balik antara keduanya. Dengan demikian, perkembangan jiwa keagamaan akan
dilihat dari tingkat usia.
Dalam
makalah ini penulis akan membahas perkembangan psikologi agama pada masa lansia
(usia lanjut), dalam makalah ini kami selaku pemakalah menyadari masih banyak
terdapat kekurangan, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik dari para
pembaca sebagai masukan dalam penulisan selanjutnya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Apakah makna dari usia lanjut ?
2. Bagaimanakah
Perkembangan Agama Pada masa Usia Lanjut?
3.
Apa sajakah cirri-ciri keagamaan pada usia
lanjut?
4.
Bagaimanakah keadaan kematangan keagamaan pada
masa usia lanjut?
5.
Bagaimanah perlakuan terhadap manusia usia
lanjut menurut Islam?
6.
Bagaimanakah cara bersikap kepada manusia usia
lanjut?
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui:
1.
Pengertian dari usia lanjut
2.
Perkembangan Agama Pada masa Usia Lanjut
3.
Ciri-ciri keagamaan pada usia lanjut
4.
Keadaan kematangan keagamaan pada masa usia lanjut
5.
Perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut Islam
6.
Cara bersikap kepada manusia usia lanjut
D.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah jenis penelitian literer, yakni
penelitian yang menjadikan literatur (buku-buku) sebagai bahan rujukannya.
Adapun metode yang dipakai adalah :
1.
Metode Induktif
Metode ini menggunakan
cara-cara berpikir dari hal-hal yang sifatnya khusus menuju hal-hal yang
bersifat umum.
2.
Metode deduktif
Metode ini menggunakan
cara-cara berpikir dari hal-hal yang sifatnya umum menuju ke hal-hal yang
khusus.
3.
Metode Korelasi
Metode ini menggunaka
cara-cara berpikir dengan mencari korelasi (hubungan) antara sesuatu hal dengan
hal yang lain.
BAB II
PEMBAHASAN
Perkembangan Jiwa Keagamaan Pada
Masa Usia Lanjut
Periode selama usia lanjut, ketika kemunduran fisik
dan mental terjadi secara perlahan dan bertahap dan dikenal sebagai
“senescence” yaitu masa proses menjadi tua. Usia tua adalah periode penutup
dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak
jauh dari pada periode terdahulu.[1]
Didalam “gerontology” (ilmu yang mempelajari lanjut
usia) lanjut usia dibagi menjadi dua golongan, yaitu “young old”(65-74) dan
“old-old” (diatas 75 tahun). Dari kesehatan mereka dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu kelompok “well old” (mereka yang sehat dan tidak sakit apa-apa) dan “sick
old” (mereka yang menderita penyakit dan memerlukan pertolongan medis dan
psikiatris). Kebutuhan akan kesehatan bagi kelompok “sick old” ini semakin
besar, sehingga didunia kedokteran berkembang spesialisasi yang dinamakan
“geriatry” baik dari aspek medis (fisik) maupun kejiwaan (psikiatris).[2]
Erik Erikson menyatakan bahwa manusia lanjut usia
(manula) berada pada tahapan terakhir dari tahapan siklus. Menurut Ericson
lanjut usia digambarkan sebagai konflik antara integritas (yaitu rasa puas)
yang tercermin selama hidup yang tidak berarti.
Lanjut
usia sebenarnya merupakan masa dimana seseorang merasakan kepuasan dari
hasil yang diperolehnya, dan menikmati hidup bersama anak dan cucu, merasa
bahagia karena telah memberi sesuatu bagi generasi berikutnya. Bagi para
lanjut usia hendaknya mampu mengatasi cidera “narcissism”(kecintaan pada diri
sendiri), terlebih-lebih manakala mereka kehilangan dukungan atau perhatian
dari orang-orang disekitarnya. Apabila pada manula tidak mampu memelihara dan
mempertahankan harga dirinya maka akan timbul rasa tegang, cemas, takut,
kecewa, sedih, marah, putus asa dan sebagainya.
Terjadi
konflik pada manula yaitu dengan pelepasan kedudukan dan otoritasnya, serta
penilaian terhadap kemampuan, keberhasilan, kepuasan yang diperoleh
sebelumnya.Hal ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan.
B.
Perkembangan Agama Pada Usia Lanjut
Proses perkembangan manusia setelah dilahirkan secara
fisiologis semakin lama menjadi lebih tua. Dengan bertambahnya usia, maka
jaringan-jaringan dan sel-sel menjadi tua, sebagian regenerasi dan sebagian
yang lain akan mati. Usia lanjut ini biasanya dimulai pada usia 65 tahun. Pada
usia lanjut ini biasanya akan menghadapi berbagai persoalan.
Persoalan awal dapat digambarkan sebagai berikut:
Pada usia lanjut terjadi penurunan kemampuan fisik à aktivitas
menurun à sering
mengalami gangguan kesehatan à mereka cenderung
kehilangan semangat.[3]
Kehidupan keagamaan pada usia lanjut menurut hasil
penelitian psikologi agama ternyata meningkat. Dari sebuah penelitian dengan
sample 1.200 orang berusia antara 60-100 tahun menunjukkan bahwa ada
kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat.
Sementara pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru muncul
sampai 100% setelah usia 90 tahun.
Ada beberapa
pandangan yang menyatakan hal-hal yang menentukan sikap keagamaan pada manusia
di usia lanjut, diantaranya sebagai berikut:
1.
Seringkali kecenderungan meningkatnya kegairahan dalam bidang keagamaan
ini dihubungkan dengan penurunan kegairahan seksual. Menurut pendapat ini
manusia usia lanjut mengalami frustasi dalam bidang seksual sejalan dengan
penurunan kemampuan fisik. Frustasi semacam ini dinilai sebagai satu-satunya
factor yang membentuk sikap keagamaan. Pendapat ini disanggah oleh Thouless,
yang beranggapan bahwa pendapat tersebut terlalu dilebih-lebihkan
2.
Menurut William James, usia keagamaan yang luar biasa tampaknya justru
terdapat pada usia lanjut, ketika gejolak kehidupan seksual sudah berakhir.
Pendapat tersebut diatas sejalan dengan realitas yang ada dalam kehidupan
manusia usia lanjut yang semakin tekun beribadah. Mereka sudah mulai
mempersiapkan diri untuk bekal hidup di akhirat kelak.
3.
Dalam penelitian lain menyatakan bahwa yang menentukan sikap keagamaan
di usia lanjut diantaranya adalah depersonalisasi. Penelitian ini diantaranya
dilakukan oleh M. Argyle dan Elle A. Cohen.[4]
C.
Ciri-ciri Keagamaan Pada Usia Lanjut
Secara garis
besar ciri-ciri keberagamaan diusia lanjut adalah:
1. Kehidupan
keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2.
Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3.
Mulai muncul pengakuan terhadap realistis tentang kehidupan akhirat
secara lebih sungguh-sungguh.
4.
Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar
sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
5.
Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan
pertambahan usia lanjutnya.
6.
Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan
pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi
(akhirat).[5]
D.
Kematangan Beragama Pada Usia Lanjut
Kematangan
atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukakan dengan kesadaran
dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan beragama yang dianutnya
dan ia memerlukan agama dalam hidupnya.[6] Seseorang yang matang dalam beragama
bukan hanya memegang teguh paham keagamaan yang dianutnya dan diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari dengan penuh tanggung jawab, melainkan kadang-kadang
dibarengi dengan pengetahuan keagamaan yang cukup mendalam. Jika kematangan
beragama telah ada pada diri seseorang, segala perbuatan dan tingkah laku
keagamaannya senantiasa dipertimbangkan betul-betul dan dibina atas rasa tanggung
jawab,bukan atas dasar peniruan dan sekedar ikut-ikutan saja.
Dalam rangka
menuju kematangan beragama terdapat beberapa hambatan. Karena tingkat
kematangan beragama juga merupakan suatu perkembangan individu, hal itu
memerlukan waktu, sebab perkembangan kepada kematangan beragam tidak terjadi
secara tiba-tiba. Pada dasarnya terdapat dua faktor yang menyebabkan adanya
hambatan:[7]
1.
Faktor diri sendiri
Faktor dari
dalam diri sendiri terbagi menjadi dua: kapasitas diri dan pengalaman.
Kapasitas ini merupakan ilmiah (rasio) dalam menerima ajaran-ajaran itu
terlihat perbedaannya antara seseorang yang berkemampuan dan kurang
berkemampuan. Bagi mereka yang mampu menerima dengan rasionya, akan menghayati
dan kemudian mengamalkan ajaran-ajaran agama tersebut dengan baik, penuh
keyakinan dan argumentative, walaupun apa yang harus dilakukan itu berbeda
dengan tradisi yang ada dalam kehidupan masyarakat mereka.
Sedangkan
faktor pengalaman, semakin luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan,
maka akan semakin mantap dan stabil dalam mengerjakan aktivitas keaagamaan.
Namun, bagi mereka yang mempunyai pengalamanan sedikit dan sempit, ia akan
mengalami berbagai macam kesulitan dan akan selalu dihadapkan pada
hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara mantap dan
stabil.
2. Faktor luar
Yang dimaksud dengan faktor luar, yaitu beberapa kondisi dan
situasi lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang,
malah justru menganggap tidak perlu adanya perkembangan dari apa yang telah
ada. Faktor-faktor tersebut antara lain tradisi agama atau
pendidikan yang diterima. Kultur masyarakat yang dikuasai tradisi tertentu dan
berjalan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya,
kadang-kadang terasa oleh sebagian orang sebagai suatu belenggu yang tidak
pernah selesai. Seringkali tradisi tersebut tidak diketahui dari mana asal-usul
dan sebab musababnya, mulai kapan ada dan bagaimana ceritanya.
Memang untuk
tradisi-tradisi tertentu mungkin perlu dikembangkan dan dilestarikan. Namun
pada bagian lain, terdapat tradisi-tradisi tertentu yang perlu
penjelasan, sehingga tidak menimbulkan anggapan kontradiktif pada sementara
orang, antara ajaran agama di satu pihak dengan kenyataan yang berlainan di
pihak lain. Seseorang yang semenjak kecil telah dicekam oleh tradisi yang
kurang dimengerti oleh orang itu sendiri, maka hal itu akan mempengaruhi
terhadap perkembangan rasa keagamaannya pada masa yang akan datang. Oleh sebab
itu, pendidikan yang diterima seseorang dari keluarga yang menghasilkan
kebiasaan-kebiasaan tertentu dalam kehidupan beragama seseorang, biasanya
akan sulit sekali untuk diadakan perubahan ke arah yang lebih sempurna. Namun,
jika pendidikan yang diterima seseorang dari jenjang lembaga berikutnya tidak
terlalu banyak mengarahkan kearah yang lebih baik dan sempurna, hal itu akan
menjadi hambatan pada masa berikutnya.
Berkaitan dengan sikap keberagamaan, William Starbuck, sebagaimana
dipaparkan kembali oleh William james, mengemukakan dua buah faktor yang
mempengaruhi sikap keagamaan seseorang, yaitu :
1. Faktor
intern, terdiri dari :
a.
Temperamen
Tingkah laku
yang didasarkan pada temperamen tertentu memegang peranan penting dalam sikap
beragama seseorang. Seseorang yang melankolis, misalnya, akan berbeda dengan
orang yang berkepribadian dysplastis dalam sikap dan pandangannya terhadap
agama. Hal demikian juga akan mempengaruhi seseorang dalam kematangan beragama.
b.
Gangguan Jiwa
Orang yang menderita gangguan jiwa menunjukkan
kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya.Tindak-tanduk keagamaan dan pengalaman
keagamaan seseorang yang ditampilkan tergantung pada gangguan jiwa yang mereka
rasakan.
c.
Konflik dan Keraguan
Konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap
seseoarng terhadap agama, seperti taat, fanatic, agnotis, maupun ateis.
d. Jauh dari
Tuhan
Orang yang hidupnya jauh dari Tuhan akan merasa
dirinya lemah dan kehilangan pegangan hidup, terutama saat menghadapi musibah.
Adapun ciri-ciri orang yang mengalami kelainan kejiwaan dalam beragama
sebagai berikut:
a.
Pesimis
b. Introvert
c.
Menyenangi paham yang ortodoks
d. Mengalami
proses keagamaan secara graduasi
2. Faktor
Ekstern yang mempengaruhi sikap keagamaan secara mendadak adalah:
a.
Musibah
Seringkali musibah yang sangat serius dapat
mengguncangkan seseorang,dan kegoncangan tersebut seringkali memunculkan
kesadaran, khususnya kesadaran keberagamaannya. Mereka merasa mendapatkan
peringatan dari Tuhan.
b. Kejahatan
Orang yang hidup dalam kejahatan pada umumnya
mengalami guncangan batin dan rasa berdosa.Perasaan tersebut mereka tutupi
dengan perbuatan kompensif, seperti meluapakan dengan berfoya-foya dan
sebagainya.Dapat pula orang tersebut melampiaskannya dengan tindakan
brutal.pemarah dan sebagainya. Sering pula perasaan yang fitri menghantui
dirinya,yang kemudian membuka kesadarannya untuk bertobat, yang pada akhirnya
akan menjadi penganut agama yang taat dan fanatik.
Adapun
ciri-ciri orang yang sehat jiwanya dalam menjalankan agama antara lain:
1. Optimisme
dan gembira
2. Ekstrovert
dan tidak mendalam
3. Menyenangi
ajaran ketauhidan yang liberal
Pengaruh
kepribadian yang ekstrovert, maka mereka cenderung:
a.
Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kaku.
b. Menunjukkan
tingkah laku keagamaan yang lebih bebas.
c.
Menekankan ajaran cinta kasih daripada kemurkaan dan dosa.
d. Mempelopori
pembelaan terhadap kepentingan agama secara soial.
e.
Tidak menyenangi implikasi penebusan dosa dan kehidupan kebiaraan.
f.
Bersifat liberal dalammenafsirkan pengertian ajaran agama.
g. Selalu
berpandangan positif.
h. Berkembang
secara graduasi.
E.
Perlakuan terhadap Usia Lanjut Menurut Islam
Menurut Lita L Atkison, sebagian besar orang-orang yang
berusia lanjut (usia 70-79th) menyatakan tidak merasa dalam keterasingan dan
masih menunjukkan aktifitas yang positif. Tetapi perasaan itu muncul setelah
mereka memperoleh bimbingan semacam terapi psikologi.
Kajian psikologi berhasil mengungkapkan bahwa di usia
melewati setengah baya, arah perhatian mereka mengalami perubahan yang
mendasar. Bila sebelumnya perhatian diarahkan pada kenikmatan materi dan
duniawi, maka pada peralihan ke usia ini, perhatian mereka tertuju kepada upaya
menemukan ketenangan bathin. Sejalan dengan perubahan itu maka masalah-masalah
yang berkaitan dengan kehidupan akhirat mulai menarik perhatian mereka.
Perubahan
orientasi ini diantaranya disebabakan oleh psikologis. Disatu pihak kemampuan
fisik pada usia lanjut sedang mengalami penurunan. Sebaliknya dipiahak lain
memiliki khasanah pengalaman yang kaya. Kejayaan mereka dimasa lalu yang pernah
diperoleh sedang tidak lagi memperoleh perhatian karena secara fisik mereka
dinilai sudah lemah. Kesenjangan ini menimbulkan gejolak dan kegelisahan-kegelisahan
bathin.
Apabila
gejolak-gejolak tidak dapat dibendung lagi maka muncul gangguan kejiwaan,
seperti stress, putus asa, ataupun pengasingan diri dari pergaulan sebagai
wujud rasa rendah diri. Dalam kasus-kasus seperti ini umumnya dapat difungsikan
dan diperankan sebagai penyelamat. Sebab melalui ajaran pengalaman agama,
manusia usia lanjut merasa memperoleh tempat bergantung. Fenomena adanya para
pejabat pensiunan seperti ini sudah jamak terlihat diakhir-akhir ini. Sebagai
dalam memberi perlakuan yang baik pada kedua orang tua Allah menyatakan dalam
surat (QS 17-23) yang artinya: jika seorang diantara keduanya atau keduanya
sampai berumur lanjut dalam pemiliharaanmu, maka jangan sekali-sekali kamu
mengatakan pada keduanya perkataan ah dan jangan kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. [8]
F.
Cara Bersikap Pada Manusia Usia Lanjut
Dalam lingkungan peradaban Barat, upaya untuk memberi
perlakuan manusiawi kepada para manusia usia lanjut dilakukan dengan
menempatkan mereka dipanti jompo. Di panti ini para manusia usia lanjut itu
mendapat perawatan yang intensif. Sebaliknya, di lingkungan keluarga, umumnya
karena kesibukan, tak jarang anak-anak serta sanak keluarga tak berkesempatan
untuk memberikan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan para manusia usia
lanjut tersebut.
Tradisi keluarga Barat umumnya menilai
penempatan orang tua mereka ke panti jompo merupakan cerminan dari kasih
saying anak kepada orang tua. Sebaliknya, membiarkan orang tua yang berusia
lanjut tetap berada di lingkungan keluarga cenderung dianggap sebagai
menelantarkannya.
Lain halnya dengan konsep yang dianjurkan oleh
islam. Perlakuan terhadap manusia usia lanjut dianjurkan seteliti dan
seteladan mungkin. Perlakuan terhadap orang tua yang berusia lanjut, dibebankan
pada keluarga mereka, bukan kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti
jompo. Perlakuan terhadap orang tua menurut tuntunan islam berawal dari rumah
tangga. Allah menyebutkan pemeliharaan secara khusus orang tua yang
sudah lanjut usia dengan memerintahkan kepada anak-anak mereka dengan kasih
sayang.
Adapun dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits berkenaan
dengan perlakuan kepada orang tua diantaranya sebagai berikut:
1. Sebagai pedoman dalam memberi
perlakuan yang baik kepada orang tua, Allah menyatakan:
“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu megatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu megatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
2. Selanjutnya
Al-Qur’an melukiskan perlakuan terhadap kedua orang tua:
Dan rendahkan dirimu terhadap mereka
berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
berdua, sebagaimana mereka berdua telah mengasihi dan mendidikku waktu kecil” (QS. 17:24).
3. Selain itu, kita juga dapat melihat
bagaimana seharusnya perilaku anak kepada orang tua, dalam pernyataan Aisyah
r.a. yakni dalam dialog rasulullah Saw. Kepada
seorang laki-laki. Rasul bertanya: “Siapakah yang bersamamu? Orang itu
menjawab: “ayahku”. Beliau berkata: “jangan berjalan di depannya dan
jangan duduk sebelum dia, jangan memanggilnya dengan namanya dan jangan berbuat
sesuatu yang menyebabkan orang lain memakinya”. (Thoha Abdullah Al-Afifi:
1987:51)
4.
Perlakuan kepada kedua orang tua dengan baik dikaitkan sebagai kewajiban
agama. Menurut Ibnu Abbas, Rasulullah pernah mengatakan:
“Barang
siapa membuat ridha kedua orang tuanya di waktu pagi dan sore, maka ia pun
mendapat dua pintu syurga yang terbuka, dan jika membuat ridha salah-satu diantaranya
maka akan terbuka satu pintu syurga. Barangsiapa di waktu sore dan pagi membuat
marah kedua orang tuanya, maka ia mendapat dua pintu neraka yang terbuka. Jika
membuat marah salah-satu diantaranya, maka terbuka untuknya satu pintu neraka”.
(Thoha Abdullah Al-Afifi, 1987:53).[9]
Bahkan
ketika mendengar seorang tua mengadukan kekikiran anaknya hingga sampai hati
mengadukan bahwa ayahnya mengambil harta miliknya, maka rasul pun bersabda: “engkau
dan hartamu adalah milik ayahmu”. (Thoha Abdullah Al-Afifi, 1987, 54-55).
Dari
penjelasan di atas tergambar bagaimana perlakuan terhadap manusia usia lanjut
menurut Islam. Manusia usia lanjut dipandang tak ubahnya seorang bayi yang
memerlukan pemeliharaan dan perawatan serta perhatian khusus dengan penuh kasih
sayang. Perlakuan yang demikian itu tidak dapat diwakilkan kepada siapa pun,
melainkan menjadi tanggung jawab anak-anak mereka. Perlakuan yang baik dan
penuh kesabaran serta kasih sayang dinilai sebagai kebaktian.
Sebaliknya, perlakuan yang tercela dinilai sebagai kedurhakaan.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap
manusia usia lanjut menurut islam merupakan kewajiban agama, maka perbuatan
menempatkan orang tua dipanti jompo merupakan tindakan tercela yang dilakukan
oleh seorang anak.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
makalah yang dijabarkan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa usia
lanjut adalah usia dimana seseorang akan mengalami kemunduran fisik dan mental
yang terjadi secara perlahan dan bertahap dan dikenal sebagai “senescence”
yaitu masa proses menjadi tua. Adapun secara umum mengatakan bahwa
usia lanjut ini dimulai pada usia 65 tahun. Dalam perkembangan usia lanjut ini
akan terjadi penurunan kemampuan fisik yang menyebabkan aktivitas
menurun, sering mengalami gangguan kesehatan hingga mereka akan cenderung
kehilangan semangat.
Adapun
ciri-ciri keagamaan pada usia lanjut diantaranya, Kehidupan keagamaan pada usia
lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan, Meningkatnya kecenderungan untuk
menerima pendapat keagamaan, Mulai muncul pengakuan terhadap realistis tentang
kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh, Sikap keagamaan cenderung
mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat
luhur, Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan
pertambahan usia lanjutnya, Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada
peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya
kehidupan abadi (akhirat).
Kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama
biasanya ditunjukakan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena
menganggap benar akan beragama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam
hidupnya. Pada dasarnya terdapat dua faktor yang menyebabkan adanya hambatan
dalam menuju rasa keagamaan usia lanjut yakni factor intern (dalam diri), dan
ekstern (dari lingkungan).
Di dalam Islam Perlakuan terhadap manusia usia lanjut
dianjurkan seteliti dan seteladan mungkin. Perlakuan terhadap orang tua
yang berusia lanjut, dibebankan pada keluarga mereka, bukan kepada badan atau
panti asuhan, termasuk panti jompo. Sehingga merawat orang tua dalam usia
lanjut merupakan kewajiban bagi anak-anak maupun sanak keluarganya, yakni
dengan cara-cara yang diajarkan di dalam alQur’an dan Sunnah Rasul.
Lampiran
Daftar Pustaka
Heni, Narendrany Hidayati. 2007.
Psikologi Agama. Jakarta: UIN Jakarta Press
Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada
Hafi Anshari. 1991. Dasar-dasar Ilmu
Jiwa Agama, Usaha Nasional, Surabaya,
Jalaluddin. 2010. PsikologI Agama.
Jakarta: Rajawali Pers.
Images.polres.multiplycontent.com/…/makalah%20b%yusuf%20y%20k
http://bismillah-abie,blogspot.co/2010/07/perkembangan-agama-pada-orang-dewasa.html
diunduh 10-05-2011, 19.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar