Makalah
|
Pinjam Meminjam
|
|

|
![]() |
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan
kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul “Masalah Pinjam Meminjam dalam
Islam” dengan baik. Shalawat dan salam selalu tercurah keharibaan junjungan
kita, Nabi Besar Muhammad SAW, beserta sahabat dan pengikutnya hingga akhir
zaman.
Dalam kesempatan ini, penulis
mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada semua pihak yang telah
banyak membantu dalam proses pembuatan makalah ini, baik moril maupun materiil.
Penulis menyadari makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, karena tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini berguna dan
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Nyukang Harjo, 30 September 2016
Penulis
Habibatul Hazizah
DAFTAR
ISI
Halaman Judul
Kata
Pengantar ………………..….............................................................................................................. 1
Daftar
Isi …................................................................................................................................................. 2
BAB
I: PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 3
A. Latar
Belakang Masalah ..................................................................................................................... 3
B. Rumusan
Masalah................................................................. …........................................................... 3
C. Tujuan
Masalah ..................................................................................................................................... 4
BAB
II: PEMBAHASAN............................................................................................................................. 5
A. Pengertian
Pinjam meminjam …………………………………….....…………..……....................... 5
B. Hukum
Pinjam Meminjam (Al-Ariyyah ………………………………....…..
……………………….. 8
C. Perjanjian
Pinjam-Meminjam Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam
Dan K.U.H.Perdata …………………………………………………………………………………………..… 9
Dan K.U.H.Perdata …………………………………………………………………………………………..… 9
D. Rukun
Pinjam Meminjam………………… …………………….………………..……………………….. 11
E. Etika
Pinjam Meminjam ...……………................................................................................................... 12
F. Kewajaiban
Peminjam Meminjam …………………………........................................................... 14
BAB
III: PENUTUP..................................................................................................................................... 15
A. Kesimpulan................................................................................................................................................ 15
B. Saran............................................................................................................................................................ 15
Daftar
Pustaka. ………………………………………………………………………… 16
Lampiran
………………………………………………………………………………. 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia
kadang dirundung kekurangan untuk sebuah keinsyafan akan kelemahannya. Dan
kadang dilimpahi nikmat harta untuk mendidik makna syukur dalam dirinya. Dengan
adanya dua kelompok manusia tersebut maka terjadilah dalam hidup
bermayarakat kita suatu trasnsaksi dan interaksi untuk saling melengkapi
didalam hidup ini.Yang dilanda kekurangan meminjam kepada yang berkecukupan
sepotong hartanya untuk memenuhi kebutuhannya dengan janji akan
mengembalikannya pada bulan tertentu dan hari tertentu. Orang yang
berkecukupanpun memberinya pinjaman sesuai yang dibutuhkannya dengan harapan
mendapatkan pahala dari Allah SWT.
Kejadian
semacam ini akan terus terjadi pada masyarakat dalam irama saling melengkapi.
Allah SWT yang Maha Tahu benar-benar memperhatikan kejadian ini hingga
menurunkan wahyu kepada nabi Muhammad SAW untuk mengatur tentang ini semua agar
transaksi dan interaksi yang seharusnya saling menguntungkan ini tidak
berubah menjadi suatu kedholiman.
Lihatlah kedzoliman dibalik peminjaman yang disertai syarat menguntungkan disaat mengembalikan. Peminjam akan dipaksa untuk mengembalikan dalam keadaan apapun, apakah Ia dalam kelonggaran atau dalam kesempitan. Artinya Ia harus mengembalikan disaat tidak ada biarpun harus mengambil haknya orang lain yang akhirnya menyebabkan terjadinya rentetan kedzoliman- kedzoliman yang lain. Tidak ada rahmat disini. Sehingga kita bisa saksikan orang yang berhutang dua juta pada akhirnya harus membayar tiga juta dikarenakan tempo yang berkepanjangan dalam membayar hutang.
Lihatlah kedzoliman dibalik peminjaman yang disertai syarat menguntungkan disaat mengembalikan. Peminjam akan dipaksa untuk mengembalikan dalam keadaan apapun, apakah Ia dalam kelonggaran atau dalam kesempitan. Artinya Ia harus mengembalikan disaat tidak ada biarpun harus mengambil haknya orang lain yang akhirnya menyebabkan terjadinya rentetan kedzoliman- kedzoliman yang lain. Tidak ada rahmat disini. Sehingga kita bisa saksikan orang yang berhutang dua juta pada akhirnya harus membayar tiga juta dikarenakan tempo yang berkepanjangan dalam membayar hutang.
Disisi
lain ada kedzoliman dari peminjam yang sebenarnya Allah SWT telah memberikan
kelonggaran kepadanya, akan tetapi karena dibuai oleh kerakusan sehingga ia
lebih senang menunda-nunda pengembalian sehingga hilanglah rahmat dan syukur.
Itulah orang yang dimurkai oleh Allah.
Allah
mengajarkan keindahan disaat berada dan kekurangan. Di saat kita meminjami
seseorang agar semata-mata mencari ridho Allah SWT. Ketulusan ini harus di
jaga jangan sampai tercemari oleh kerakusan untuk meraup keuntungan di
balik kebutuhan saudaranya. Sungguh suatu lahan kedoliman yg sangat luas adalah
jika ada orang yang butuh pertolongan dari kita dan saat itu kita mampu
memenuhinya lalu kebutuhan
tersebut kita manfaatkan dan kita rubah
menjadi suatu penganiayaan dengan memberi
pinjaman dengan syarat mengembalikan dengan
keuntungan. Karena itu Allah benar-benar memperhatikan interaksi tersebut
sehingga jika ada orang yang memberi pinjaman kepada orang yang membutuhkannya
agar tidak terjerumus dalam memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Sehingga
jika ada pememinjam dalam kondisi pailit yang sesungguhnya maka wajib yang
meminjami untuk memberi tempo pada peminjam tanpa harus membebani
tambahan sepeserpun.
Dan
begitu juga sebaliknya, Allah SWT akan murka kepada orang yang telah meminjam
akan tetapi dia menunda pengembaliannya padahal disaat itu sudah jatuh tempo
dan diapun mampu untuk membayarnya. Disini ada satu keserasian dalam irama
membangun keindahan dalam kebersamaan agar tidak ada si kaya memeras si miskin
dan tidak ada si miskin yang tidak menghargai kebaikan si kaya yang telah
menolongnya. Wallahu a'lam bishshowab.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pinjam
meminjam dalam islam
2. Memahami hukum pinjam meminjam dalam
islam
3. Memahami rukun pinjam meminjam dalam
islam
4. Memahami kewajiban peminjam
C. Tujuan Masalah
1. Memahami apa yang dimaksud dengan
pinjam meminjam dalam islam
2. Mampu memahami hukum pinjam meminjam
dalam islam
3. Mampu memahami rukun pinjam meminjam
dalam islam
4. Mampu memahami kewajiban peminjam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pinjam meminjam
Pinjam meminjam dalam bahasa Arab
disebut “Ariyah”. Kata “Ariyah”menurut
bahasa artinya pinjaman. Pinjam-meminjam menurut istilah ‘Syara”ialah
akad berupa pemberian mamfaat suatu benda halal dari seseorang kepada orang
lain tanpa ada imbalan dengan tidak mengurangi atau merusak benda itu dan
dikembalikan setelah diambil memfaatnya.
Allah
swt. Berfirman:
Artinya;
“Dan
tolong-memolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong memolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah,
sungguh, Allah sangat berat siksa-nya.” (Al-Ma’idah: 2).
Rasullullah saw. Bersabda:
Rasullullah saw. Bersabda:
Artinya;
“Dan Allah menolong
hamba-n-Nya selama hamba itu mau menolong saudaranya.”
Dalam
hadis lain Rarulullah saw. Bersabda:
Artinya;
“Dari Abu Umamah ra.
Dari Nabi saw. bersabda, “Pinjaman itu harus dikembalikan dan orang yang
meminjam dialah yang berutang, dan utang itu wajib dibayar.” (HR. At-Turmudzi).
Pinjam
Meminjam Ribawi
Diriwayatkan
dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ
رِبًا
Artinya ;
“Setiap pinjaman yg membawa manfaat
keuntungan adl riba.”
Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Haris ibnu Abi
Usamah dan di dalam sanad ada seorang rawi yang gugur periwayatan . Hadits ini
memiliki syahid yang dhaif pula dari Fadhalah bin ‘Ubaid yg diriwayatkan oleh
Al-Baihaqi Pendukung
lain adalah hadits mauquf diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Salam
radhiyallahu ‘anhu .” Al-Hafizh juga mengatakan dalam At-Talkhish : “Dalam
sanad hadits ini ada Sawar ibnu Mush’ab dia adl rawi yg matruk .”
3
3
Hadits
ini didhaifkan pula oleh Ibnul Mulaqqin dalam Khulashah Al-Badrul Munir Abdul
Haq di dalam Al-Ahkam Ibnu Abdil Hadi dlm At-Tanqih dan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dlm Irwa`ul Ghalil .
Ketahuilah
tiap pinjam meminjam yang mendatangkan keuntungan teranggap riba . Namun karna
hadits dhaif tentu kita tidak boleh memakai sebagai hujjah. Ha saja makna
hadits di atas terpakai diperkuat oleh ushul syariat dan telah dinukilkan ada
ijma’ para ulama dalam masalah ini. Sebagaimana dinukilkan oleh Imam Ibnu Hazm
Al-Andalusi rahimahullahu bahwa tiap pinjam meminjam yang di dalam
dipersyaratkan sebuah keuntungan penambahan kualitas ataupun kuantitas termasuk
riba. Pinjam meminjam pada asal adalah perbuatan kebaikan dimana seseorang
memberikan kepada yg lain suatu barang atau uang untuk nanti dikembalikan yg
sama pada waktu yg telah disepakati. Namun manakala ada penambahan dalam
pengembalian atau dikembalikan dengan sesuatu yang lebih bagus/baik terjadilah
riba.
Dalam
hal ini ada beberapa syubhat yg beredar di tengah kaum muslimin yg sengaja
disebarkan oleh ahlus syubhat yang dipandang tokoh oleh sebagian orang. Kami
nukilkan secara ringkas beberapa syubhat tersebut berikut jawaban dari kitab
Syarhul Buyu’ war Riba Min Kitabid Darari yang ditulis guru kami Asy-Syaikh
Abdurrahman bin ‘Umar bin Mar’i Al-’Adni hafizhahullah.
Beliau hafizhahullah menyatakan ada pihak-pihak yang tidak menganggap riba pinjam meminjam yg memberi faedah. dalam hal ini mereka menggunakan dua sudut pandang:
Beliau hafizhahullah menyatakan ada pihak-pihak yang tidak menganggap riba pinjam meminjam yg memberi faedah. dalam hal ini mereka menggunakan dua sudut pandang:
1. Riba
yg diharamkan hanyalah riba jahiliah yaitu riba dalam hutang piutang. Misalnya
seseorang menghutangi orang lain dengan perjanjian akan dibayar dalam tempo
tertentu namun ternyata sampai tempo yg ditentukan orang yang berhutang belum
melunasinya. Akibat si pemberi piutang memberi denda dengan jumlah tertentu
yang harus dibayarkan bersama hutang sehingga bertambahlah jumlah hutang dari
orang yang berhutang tersebut.
Adapun pembayaran tambahan yang telah disebutkan di awal akad pinjam meminjam mereka mengatakan bahwa itu bukan riba yg diharamkan.
Mereka yg berpendapat seperti ini di antara Muhammad Rasyid Ridha penulis Tafsir Al-Manar murid Muhammad Abduh serta diikuti oleh ‘Abdurrazzaq As-Sanhawuri seorang “pakar” hukum di masa ini. Mereka menguatkan pendapat tersebut dengan beberapa dalil/perkara berikut ini:
Adapun pembayaran tambahan yang telah disebutkan di awal akad pinjam meminjam mereka mengatakan bahwa itu bukan riba yg diharamkan.
Mereka yg berpendapat seperti ini di antara Muhammad Rasyid Ridha penulis Tafsir Al-Manar murid Muhammad Abduh serta diikuti oleh ‘Abdurrazzaq As-Sanhawuri seorang “pakar” hukum di masa ini. Mereka menguatkan pendapat tersebut dengan beberapa dalil/perkara berikut ini:
a. Gambaran
riba jahiliah yang ayat-ayat Al-Qur`an diturunkan tentang hanyalah berupa
‘engkau bayar sekarang atau hutangmu bertambah’.
Jawaban terhadap dalil mereka ini adalah:
Jawaban terhadap dalil mereka ini adalah:
1) Hal
ini tdk bisa diterima krn sebenar riba jahiliah itu memiliki dua bentuk:
Bentuk pertama: Bentuk yg masyhur yaitu ‘engkau bayar sekarang atau hutangmu bertambah’
Bentuk kedua: Penetapan ada tambahan pembayaran/ pengembalian dari jumlah yg semesti dibayarkan sejak awal akad. Bentuk seperti ini adl riba jahiliah disebutkan dlm Ahkamul Qur`an karya Al-Imam Al-Jashshash.
Bentuk pertama: Bentuk yg masyhur yaitu ‘engkau bayar sekarang atau hutangmu bertambah’
Bentuk kedua: Penetapan ada tambahan pembayaran/ pengembalian dari jumlah yg semesti dibayarkan sejak awal akad. Bentuk seperti ini adl riba jahiliah disebutkan dlm Ahkamul Qur`an karya Al-Imam Al-Jashshash.
2) Kalaupun
dianggap bahwa ayat-ayat tentang riba yg ada dlm surah Al-Baqarah hanya mencakup
bentuk yg pertama namun sebenar ayat tersebut juga bisa dijadikan sebagai dalil
akan haram ziyadah yg dipersyaratkan di awal akad. Karena kedua bentuk ini
sama-sama menerima ziyadah hanya bila telah jatuh tempo.
3) Ziyadah
yg dipersyaratkan dlm akad hutang piutang khusus pada mata uang serta yg serupa
dgn kedua sebagai alat pembayaran seperti uang kertas memang tdk dinyatakan
keharaman oleh ayat-ayat yg berbicara tentang riba. Namun demikian pengharaman
disebutkan dlm Sunnah.
Untuk lbh jelas perhatikanlah contoh berikut ini: Bila seseorang datang ke bank lalu berkata “Berikan pinjaman kepada saya sebesar Rp. 100.000-.” Pihak bank mengatakan “Kami akan memenuhi permintaan anda namun kami catat dlm pembukuan kami jumlah Rp. 120.000- sampai akhir tahun.”
Memang ayat-ayat tentang riba tdk menunjukkan keharaman bentuk seperti ini namun hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan secara jelas keharamannya. dlm hadits disebutkan tentang enam macam barang yg terkena hukum riba:
Untuk lbh jelas perhatikanlah contoh berikut ini: Bila seseorang datang ke bank lalu berkata “Berikan pinjaman kepada saya sebesar Rp. 100.000-.” Pihak bank mengatakan “Kami akan memenuhi permintaan anda namun kami catat dlm pembukuan kami jumlah Rp. 120.000- sampai akhir tahun.”
Memang ayat-ayat tentang riba tdk menunjukkan keharaman bentuk seperti ini namun hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan secara jelas keharamannya. dlm hadits disebutkan tentang enam macam barang yg terkena hukum riba:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ
بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ
بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَمَنْ
زَادَ أَوِ اسْتَزْدَادَ فَقَدْ أَرْبَى
Artinya;
“Emas dgn emas perak dgn perak burr dgn
burr sya’ir dgn sya’ir kurma dgn kurma dan garam dgn garam harus sama timbangan
dan tangan dgn tangan . Barangsiapa menambah atau minta tambah berarti dia
jatuh dlm riba.”
Bila pihak bank memberikan pinjaman Rp. 100.000- kepada orang tersebut namun dicatat jumlah Rp. 120.000- hingga waktu setahun berarti pihak yang berhutang dan yang memberi piutang tidak berpegang dengan dua ketetapan yang disebutkan dalam hadits di atas yaitu:
مِثْلاً بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ
Mereka yg melakukan muamalah seperti
ini berarti telah mengumpulkan dua macam riba riba fadhl dan riba nasi`ah .
b. Menurut
mereka riba jahiliah dilarang karna mengambil ziyadah dari pokok harta . Hal
itu terjadi karna tertunda pembayaran hutang kepada pihak yg memberi piutang
bukan disebabkan ingin memberikan kemanfaatan kepada si pemberi hutang.
Dijawab: Sebab yg disebutkan ini juga ada pada akad pinjam meminjam yg mensyaratkan pembayaran tambahan.
Dijawab: Sebab yg disebutkan ini juga ada pada akad pinjam meminjam yg mensyaratkan pembayaran tambahan.
c. Muhammad
Rasyid Ridha berdalil juga dari sisi bahasa. Ia berkata “Huruf lif dan lam pada
kata الرِّبَا adalah lil-’ahd sehingga riba yg dilarang dan dicerca adalah
riba yang dikenal dimaklumi dan diketahui kalangan orang 2 jahiliah yaitu
‘engkau bayar atau hutangmu bertambah’.
Dijawab: Kalaulah dianggap alif dan lam yg ada pada kata riba tersebut lil-’ahd yakni Rabb kita menyebutkan keharaman riba atas sesuatu yg tertentu yg biasa dilakukan orang2 jahiliah mk As-Sunnah telah menyebutkan keharaman bentuk riba yg lain . Sehingga lafadz riba menjadi sebuah hakikat syariat di mana didudukkan pada seluruh bentuk riba. Apalagi memang di antara mereka ada yg mengatakan “Riba adl lafadz yg global penafsiran disebutkan dlm As-Sunnah.”
Dijawab: Kalaulah dianggap alif dan lam yg ada pada kata riba tersebut lil-’ahd yakni Rabb kita menyebutkan keharaman riba atas sesuatu yg tertentu yg biasa dilakukan orang2 jahiliah mk As-Sunnah telah menyebutkan keharaman bentuk riba yg lain . Sehingga lafadz riba menjadi sebuah hakikat syariat di mana didudukkan pada seluruh bentuk riba. Apalagi memang di antara mereka ada yg mengatakan “Riba adl lafadz yg global penafsiran disebutkan dlm As-Sunnah.”
d. Muhammad
Rasyid Ridha juga berdalil dgn akal. Ia berkata “Ancaman yg keras dan cercaan
yg demikian menikam tidaklah mungkin diberikan kecuali kepada dosa-dosa yg
besar. Bila ada seseorang menukar 1 real perak dgn 4 real perak dgn serah
terima yg ditunda sampai waktu tertentu apakah bisa diterima oleh akal bahwa
perbuatan seperti ini dikenakan ancaman yg disebutkan dlm ayat-ayat yg melarang
riba berupa diperangi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya? Yang bisa
diterima oleh akal hanyalah bila bentuk seperti bentuk yg awal yaitu ‘engkau
bayar atau hutangmu bertambah’.
Jawabannya: Menggunakan akal dan
pendapat dlm perkara yg telah disebutkan nash- secara syar’i adl sesuatu yg
sia-sia. Sungguh keumuman dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah telah mencakup hal
yg ditolak tersebut.
e. Muhammad
Rasyid Ridha pun berdalil bahwa riba jahiliah adl riba yg menyebabkan kerusakan
kemudaratan meruntuhkan rumah-rumah dan memutuskan silaturahim.
Dijawab: Mensyaratkan tambahan pembayaran/pengembalian di awal akad justru lbh besar dan lbh tampak kedzaliman daripada tambahan yg ditetapkan setelah jatuh tempo. Karena dlm riba jahiliah seseorang memberi satu pinjaman kepada orang lain utk dikembalikan dlm tempo sebulan misalnya. Ketika telah jatuh tempo orang yg meminjamkan berkata kepada pihak yg dipinjami “Engkau bayar sekarang atau hutangmu bertambah .” Sehingga persyaratan tambahan di awal akad tentu lbh tampak dan lbh jelas kedzalimannya.
Kemudian apa yg dianggap masuk akal oleh Muhammad Rasyid Ridha justru bertentangan dgn nash dan tdk sepantas ditanyakan “Mengapa?” dan “Bagaimana?” kepada nash. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dijawab: Mensyaratkan tambahan pembayaran/pengembalian di awal akad justru lbh besar dan lbh tampak kedzaliman daripada tambahan yg ditetapkan setelah jatuh tempo. Karena dlm riba jahiliah seseorang memberi satu pinjaman kepada orang lain utk dikembalikan dlm tempo sebulan misalnya. Ketika telah jatuh tempo orang yg meminjamkan berkata kepada pihak yg dipinjami “Engkau bayar sekarang atau hutangmu bertambah .” Sehingga persyaratan tambahan di awal akad tentu lbh tampak dan lbh jelas kedzalimannya.
Kemudian apa yg dianggap masuk akal oleh Muhammad Rasyid Ridha justru bertentangan dgn nash dan tdk sepantas ditanyakan “Mengapa?” dan “Bagaimana?” kepada nash. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِيْنَ
إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا
سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا
Artinya;
“Hanyalah ucapan kaum mukminin bila
mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Allah dan Rasul-Nya menghukumi
di antara mereka mereka akan mengatakan ‘Kami dengar dan kami taat’.”
f. Muhammad
Rasyid Ridha berargumen dgn ucapan-ucapan ulama utk membatasi riba yg dilarang
hanyalah ‘engkau bayar atau hutangmu bertambah’. Di antara ulama yg disebutkan
adl Malik Ath-Thabari Al-Qurthubi Ath-Thahawi Asy-Syathibi Ibnu Rusyd
Al-Mawardi An-Nawawi dan Ibnu Hajar Al-Haitsami.
Jawabannya: dlm hal ini ada perbedaan antara membatasi bentuk dgn membatasi hukum. Tatkala ulama yg disebutkan di atas memaparkan hal itu yg mereka maukan adl menerangkan tentang riba yg masyhur dan dikenal/dimaklumi yaitu riba ‘engkau bayar atau hutangmu bertambah’. Bukan utk membatasi hokum riba hanya pada bentuk seperti ini. Beda hal dgn apa yg dipegangi oleh Muhammad Rasyid Ridha. Dan ketahuilah pada sebagian ucapan ulama yg disebutkan justru didapatkan bantahan terhadap pendapat Muhammad Rasyid Ridha di mana
Jawabannya: dlm hal ini ada perbedaan antara membatasi bentuk dgn membatasi hukum. Tatkala ulama yg disebutkan di atas memaparkan hal itu yg mereka maukan adl menerangkan tentang riba yg masyhur dan dikenal/dimaklumi yaitu riba ‘engkau bayar atau hutangmu bertambah’. Bukan utk membatasi hokum riba hanya pada bentuk seperti ini. Beda hal dgn apa yg dipegangi oleh Muhammad Rasyid Ridha. Dan ketahuilah pada sebagian ucapan ulama yg disebutkan justru didapatkan bantahan terhadap pendapat Muhammad Rasyid Ridha di mana
mereka menyatakan bahwa ini adl bentuk
riba jahiliah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan
bentuk-bentuk riba lain yg diharamkan seperti riba fadhl dan riba nasi`ah.
2. Membatasi
riba hanya dlm jual beli saja. Adapun dalam pinjam meminjam riba tidaklah
berlaku. Mereka berdalil sebagaimana berikut:
a. Ayat-ayat
riba menyebutkan secara global dan ditafsirkan oleh haditshadits Rasulullah
saw. Namun dalam hadits tersebut hanya disebutkan jual beli dan tdk ada
penyebutan qardh.
Jawabannya: Telah disebutkan ada ijma’ tentang berlaku riba dlm qardh.
Jawabannya: Telah disebutkan ada ijma’ tentang berlaku riba dlm qardh.
b. Mereka
berdalil dgn penukilan dari fuqaha dan ulama Hanafiah yg membatasi riba hanya
dlm jual beli.
Jawabannya: Telah disebutkan penukilan yg lain dari ulama dan fuqaha tersebut tentang penetapan ada riba dlm qardh sebagaimana dlm jual beli.
Jawabannya: Telah disebutkan penukilan yg lain dari ulama dan fuqaha tersebut tentang penetapan ada riba dlm qardh sebagaimana dlm jual beli.
c. Mereka
berdalil bahwa sebagian fuqaha Hanafiah menjadikan qardh sebagai analogi dari
berderma sehingga tdk terjadi riba di dalamnya. Karena yg nama riba hanya
berlangsung pada sesuatu yg di dlm ada penggantian.
Jawabannya: Para fuqaha tersebut walaupun mereka menjadikan qardh sebagai perbuatan derma pada awal namun pada akhir mereka menjadikan perlu pengganti yg berarti riba bisa terjadi di dalamnya. Mereka menyatakan hal ini secara jelas.
Adapun ucapan mereka bahwa qardh adl berderma bila memang tujuan utk memberikan manfaat dan berbuat baik. Sedangkan qardh yg disyaratkan ada ziyadah di dlm mk maksud atau tujuan adl meminta penggantian. Ada syarat ‘minta tambah’ ini menjadikan muamalah tersebut sama dgn jual beli bukan lagi semata-mata qardh. Karena qardh hanyalah dilakukan utk tujuan berbuat baik dan memberi manfaat bagi yg dipinjami. Beda hal dgn qardh yg ada syarat ‘minta tambah’. Qardh yg seperti ini bukan bertujuan berbuat ihsan dan memberi manfaat tapi tujuan meminta ganti mendapat untung dan ziyadah.
Jawabannya: Para fuqaha tersebut walaupun mereka menjadikan qardh sebagai perbuatan derma pada awal namun pada akhir mereka menjadikan perlu pengganti yg berarti riba bisa terjadi di dalamnya. Mereka menyatakan hal ini secara jelas.
Adapun ucapan mereka bahwa qardh adl berderma bila memang tujuan utk memberikan manfaat dan berbuat baik. Sedangkan qardh yg disyaratkan ada ziyadah di dlm mk maksud atau tujuan adl meminta penggantian. Ada syarat ‘minta tambah’ ini menjadikan muamalah tersebut sama dgn jual beli bukan lagi semata-mata qardh. Karena qardh hanyalah dilakukan utk tujuan berbuat baik dan memberi manfaat bagi yg dipinjami. Beda hal dgn qardh yg ada syarat ‘minta tambah’. Qardh yg seperti ini bukan bertujuan berbuat ihsan dan memberi manfaat tapi tujuan meminta ganti mendapat untung dan ziyadah.
d. Mereka
berdalil dgn haditshadits yg menunjukkan boleh pengembalian dgn tambahan dlm
masalah qardh seperti hadits:
خَيْرُكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
Artinya;
“Sebaik-baik kalian adl yg paling baik pembayarannya.”
“Sebaik-baik kalian adl yg paling baik pembayarannya.”
Jawabannya: Hadits seperti ini dibawa
pemahaman kepada qardh yg tdk ada persyaratan minta tambah dlm pengembalian.
Sebagaimana orang yg meminjamkan telah berbuat ihsan kepada orang yg dipinjami
mk disyariatkan pula bagi orang yg dipinjami utk berbuat ihsan kepada orang yg
meminjamkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
هَلْ جَزَاءُ اْلإِحْسَانِ إِلاَّ
اْلإِحْسَانُ
Artinya;
“Tidaklah balasan kebaikan melainkan kebaikan pula .”
Maka hal ini masuk dalam permasalahan membalas kebaikan dengan kebaikan pula.
Demikian beberapa syubhat yang ada dalam pinjam meminjam yang mengandung unsur riba. Sebagai penutup bagus sekali untuk kita nukilkan di sini nasihat dari Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Alu Fauzan hafizhahullah. Beliau berkata “Wajib bagi seorang muslim untuk memerhatikan dan berhati-hati dari qardh yang mensyaratkan ada tambahan. Hendaklah ia mengikhlaskan niat dlm qardh tersebut dan juga dlm melakukan amal shalih yg lain. Karena tujuan dari qardh ini bukanlah utk menambah harta secara hakiki namun hanyalah utk menambah harta secara maknawi yaitu taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dgn memenuhi hajat orang2 yg membutuhkan dan hanya menginginkan pengembalian yg sesuai dgn besar pinjaman . Bila yg seperti ini menjadi tujuan dlm qardh niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menurunkan barakah penambahan/pertumbuhan dan kebaikan pada harta.”
“Tidaklah balasan kebaikan melainkan kebaikan pula .”
Maka hal ini masuk dalam permasalahan membalas kebaikan dengan kebaikan pula.
Demikian beberapa syubhat yang ada dalam pinjam meminjam yang mengandung unsur riba. Sebagai penutup bagus sekali untuk kita nukilkan di sini nasihat dari Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Alu Fauzan hafizhahullah. Beliau berkata “Wajib bagi seorang muslim untuk memerhatikan dan berhati-hati dari qardh yang mensyaratkan ada tambahan. Hendaklah ia mengikhlaskan niat dlm qardh tersebut dan juga dlm melakukan amal shalih yg lain. Karena tujuan dari qardh ini bukanlah utk menambah harta secara hakiki namun hanyalah utk menambah harta secara maknawi yaitu taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dgn memenuhi hajat orang2 yg membutuhkan dan hanya menginginkan pengembalian yg sesuai dgn besar pinjaman . Bila yg seperti ini menjadi tujuan dlm qardh niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menurunkan barakah penambahan/pertumbuhan dan kebaikan pada harta.”
B. Hukum Pinjam Meminjam (Al-Ariyyah)
Al-Ariyyah
adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain dalam jangka waktu tertentu
lalu dikembalikan kepada pemilik.
“…Dan tolong-menolonglah kamu
dalam kebajikan dan takwa…” (Al Maaidah 2).
Ketika
Rasulullah saw. meminjam baju besi dari Shafwan bin Umaiyyah, Shafwan berkata,
“Apakah ini perampasan hai Muhammad ?”. Maka Rasulullah saw. bersabda, “Namun
Al Ariyyah itu harus diganti.”
Hukum-hukumnya :
·
Harus sesuatu yang boleh dipinjamkan. “…dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…” (Al Maaidah 2)
·
Jika yang meminjamkan mensyaratkan kepada peminjam untuk
mengganti barang yang dipinjamkan jika mengalami kerusakan, maka pihak peminjam
wajib mengganti. Jika yang meminjamkan tidak mensyaratkan, tetapi barang rusak
bukan karena keteledoran peminjam, maka disunnahkan untuk mengganti, tidak
diwajibkan. Tetapi jika rusak karena keteledoran peminjam, maka wajib diganti
walaupun pemilik tidak mensyaratkannya. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam
bersabda, “Tangan berkewajiban atas apa yang diambilnya hingga ia
menunaikannya.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi, Al Hakim mengshahihkannya).
·
Peminjam harus menanggung biaya pengangkutan pada saat
pengembalian.
·
Peminjam tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamnya.
Boleh meminjamkan lagi ke orang lain dengan izin dari pemilik.
·
Jika seseorang meminjamkan kebun untuk ditembok, peminjam
tidak boleh mengambil lagi hingga temboknya roboh. Jika meminjamkan sawah untuk
ditanami, peminjam tidak boleh mengambilnya hingga panen usai.
·
Jika meminjamkan dalam jangka waktu tertentu, peminjam
disunnahkan untuk tidak mengambil barangnya sebelum masa waktunya habis.
C. Perjanjian Pinjam-Meminjam Ditinjau
Dari Perspektif Hukum Islam Dan K.U.H.Perdata
1. Perspektif Hukum Islam & KUHP
· Manusia adalah makhluk sosial, yaitu
makhluk yang berkodrat hidup bersama-sama dengan makhluk yang lain dalam suatu
masyarakat. Dalam hidup bermasyarakat, disadari atau tidak manusia senantiasa
saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya untuk memenuhi berbagai
kepentingan dalam hidupnya. Kepentingan-kepentingan ini akan menimbulkan hak
dan kewajiban diantara para pihak, sehingga hak dan kewajiban ini membutuhkan
suatu aturan hukum guna menghindari terjadinya bentrok atau perselisihan
diantara para pihak yang melakukan kepentingan itu.
· Dalam negara Indonesia menganut tiga
sistem hukum yaitu; sistem hukum Adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum
Barat. Hal ini menyebabkan terjadinya
pluralisme
hukumdi Indonesi. Dalam lapangan keperdataan misalnya, kita masih menggunakan
sistem hukum Barat (BW) yang nota bene merupakan warisan peninggalan kolonial
Belanda, padahal sitem hukum Islam juga mengatur hal-hal keperdataan
(muamalat). Sebagai contoh masalah pinjam-meminjam yang diatur dalam
K.U.H.Perdata (Bab III), juga diatur dalam hukum Islam.
· Untuk itu penulis dalam skripsi ini
mencoba mengkaji masalah perjanjian pinjam-meminjam yang ditinjau dari
prospektif hukum Islam dan KUHPerdata. Karena perjanjian pinjam-meminjam dewasa
ini lagi marak terjadi dilingkungan masyarakat kita, yang dipengaruhi semakin
terhimpitnya faktor ekonomi dan imbas dari krisis yang berkepanjangan yang
sampai saat ini masih melanda negara kita.
· Berangkat dari hal-hal tersebut,
penulis mengangkat tiga permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini yaitu:
Bagaimana perbandingan perjanjian pinjam-meminjam dalam hukum islam dan KUHPdt
dalam hal; Pengertian, syarat, subyek dan obyeknya. Apa hak dan kewajiban para
pihak dalam perjanjian pinjam-meminjam. Serta bagaimana aturan perjanjian
pinjam-meminjam uang dalam hukum Islam dan KUHPdt.
· Permasalahan-permasalahan inilah
yang hendak penulis kaji secara mendalam, dan kemudian mengkaji pula segi
persamaan dan perbedaan dari kedua sistem hukum tersebut. Untuk memperoleh
data, penulis melakukan studi pustaka dengan cara menghimpun dari berbagi
literatur, skripsi dan karya ilmiah para ahli hukum, selanjutnya penulis
menganalisa data dengan metode diskriptif kualitatif dan metode content
analisis, artinya suatu analisa yang memberikan gambaran secara sistimatik dan
uraian dengan argumentasi yang logis, serta analisa mendalam dari data-data
yang diperoleh, sehingga menghasilkan kesimpulan yang tepat.
· Adapun beberapa temuan penulis
secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
· 1. Bahwa pinjam-meminjam yang diatur
dalam hukum Islam dan KUHPerdata mempunyai persamaan dan perbedaan. Dimana
syarat-syarat pinjam-meminjam yang diatur dalam hukum Islam mempunyai persamaan
dengan syarat perjanjian yang diatur dalam KUHPdt (psl 1320). Adapun
perbedaannya terletak pada obyek pinjaman, dimana dalam hukum Islam menetapkan
barang pinjaman adalah
sesuatu
yang tidak menghabis karena pemakaian, sedangkan dalam KUHPdt menentukan barang
pinjaman adalah sesuatu yang menghabis karena pemakaian (psl 1754).
· 2. Bahwa hak dan kewajiban para
pihak yang diatur dalam hukum Islam berbeda dengan yang diatur dalam KUHPdt.
Dalam hukum Islam mewajibkan kepada debitur untuk mengembalikan barang pinjaman
yang semula dipinjam, apabila telah selesai dipakai atau lewatnya waktu yang
diperjanjikan, karena dalam hukum Islam lebih menekankan pada pengambilan
manfaat semata dari barang pinjaman. Adapun yang diatur dalam KUHPdt mewajibkan
kepada debitur untuk mengganti barang pinjaman dengan barang yang baru, karena
obyek dari pinjaman adalah sesuatu yang menghabis, sehingga debitur harus
bertanggung jawab atas kemusnahan barang pinjaman.
2. Deskripsi Alternatif :
· Manusia adalah makhluk sosial, yaitu
makhluk yang berkodrat hidup bersama-sama dengan makhluk yang lain dalam suatu
masyarakat. Dalam hidup bermasyarakat, disadari atau tidak manusia senantiasa
saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya untuk memenuhi berbagai
kepentingan dalam hidupnya. Kepentingan-kepentingan ini akan menimbulkan hak
dan kewajiban diantara para pihak, sehingga hak dan kewajiban ini membutuhkan
suatu aturan hukum guna menghindari terjadinya bentrok atau perselisihan
diantara para pihak yang melakukan kepentingan itu.
· Dalam negara Indonesia menganut tiga
sistem hukum yaitu; sistem hukum Adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum
Barat. Hal ini menyebabkan terjadinya pluralisme hukumdi Indonesi. Dalam
lapangan keperdataan misalnya, kita masih menggunakan sistem hukum Barat (BW)
yang nota bene merupakan warisan peninggalan kolonial Belanda, padahal sitem
hukum Islam juga mengatur hal-hal keperdataan (muamalat). Sebagai contoh
masalah pinjam-meminjam yang diatur dalam K.U.H.Perdata (Bab III), juga diatur
dalam hukum Islam.
· Untuk itu penulis dalam skripsi ini
mencoba mengkaji masalah perjanjian pinjam-meminjam yang ditinjau dari
prospektif hukum Islam dan KUHPerdata. Karena perjanjian pinjam-meminjam dewasa
ini lagi marak terjadi dilingkungan
· masyarakat kita, yang dipengaruhi
semakin terhimpitnya faktor ekonomi dan imbas dari krisis yang berkepanjangan
yang sampai saat ini masih melanda negara kita.
· Berangkat dari hal-hal tersebut,
penulis mengangkat tiga permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini yaitu:
Bagaimana perbandingan perjanjian pinjam-meminjam dalam hukum islam dan KUHPdt
dalam hal; Pengertian, syarat, subyek dan obyeknya. Apa hak dan kewajiban para
pihak dalam perjanjian pinjam-meminjam. Serta bagaimana aturan perjanjian
pinjam-meminjam uang dalam hukum Islam dan KUHPdt.
· Permasalahan-permasalahan inilah
yang hendak penulis kaji secara mendalam, dan kemudian mengkaji pula segi
persamaan dan perbedaan dari kedua sistem hukum tersebut. Untuk memperoleh
data, penulis melakukan studi pustaka dengan cara menghimpun dari berbagi
literatur, skripsi dan karya ilmiah para ahli hukum, selanjutnya penulis
menganalisa data dengan metode diskriptif kualitatif dan metode content
analisis, artinya suatu analisa yang memberikan gambaran secara sistimatik dan
uraian dengan argumentasi yang logis, serta analisa mendalam dari data-data
yang diperoleh, sehingga menghasilkan kesimpulan yang tepat.
· Adapun beberapa temuan penulis
secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Bahwa pinjam-meminjam yang diatur dalam hukum Islam dan KUH
Perdata mempunyai persamaan dan perbedaan. Dimana syarat-syarat pinjam-meminjam
yang diatur dalam hukum Islam mempunyai persamaan dengan syarat perjanjian yang
diatur dalam KUHPdt (psl 1320). Adapun perbedaannya terletak pada obyek
pinjaman, dimana dalam hukum Islam menetapkan barang pinjaman adalah sesuatu
yang tidak menghabis karena pemakaian, sedangkan dalam KUHPdt menentukan barang
pinjaman adalah sesuatu yang menghabis karena pemakaian (psl 1754).
2. Bahwa hak dan kewajiban para pihak yang diatur dalam hukum
Islam berbeda dengan yang diatur dalam KUHPdt. Dalam hukum Islam mewajibkan
kepada debitur untuk mengembalikan barang pinjaman yang semula dipinjam,
apabila telah selesai dipakai atau lewatnya waktu yang diperjanjikan, karena
dalam hukum Islam lebih menekankan pada pengambilan manfaat semata dari
barang
pinjaman. Adapun yang diatur dalam KUHPdt mewajibkan kepada debitur untuk
mengganti barang pinjaman dengan barang yang baru, karena obyek dari pinjaman
adalah sesuatu yang menghabis, sehingga debitur harus bertanggung jawab atas
kemusnahan barang pinjaman.
D. RUkun Pinjam Meminjam
Rukun pinjam meminjam ada empat macam
dengan syaratnya masing-masing sebagai berikut:
1. Orang-orang yang meminjamkan,
disyaratkan;
a. Berhak berbuat kebaikan tanpa ada yang
menghalangi. Orang yang dipaksa anak kecil tidak sah meminjamkan.
b. Barang yang dipinjamkan itu milik
sendiri atau menjadi tanggung jawab orang yang meminjamkannya.
2. Orang-orang yang meminjam, disyaratkan;
a. Berhak menerima kebaikan. Oleh sebab
itu, orang gila atau anak kecil tidak sah meminjam.
b. Hanya mengambil manfaat dari barang
dari barang yang dipinjam.
3. Barang yang dipinjam, disyaratkan;
a. Ada manfaatnya
b. Barang itu kekal (tidak habis setelah
diambil manfaatnya). Oleh karena itu, makanan yang setelah dimanfaatkan menjadi
habis atau berkurang zatnya tidak sah dipinjamkan.
4. Akad, yaitu ijab dan qabul.
Pinjam-meminjam berakhir apabila barang
yang dipinjam telah diambil manfaatnya dan harus segera dikembalikan kepada
yang memilikinya. Pinjam-meminjam berakhir apabila salah satu dari kedua belah
pihak meninggal dunia atau gila. Barang yang dipinjam dapat diminta kembali
sewaktu-waktu, karena pinjam meminjam bukan merupakan perjanjian yang tepat.
Jika terjadi perselisihan pendapat
antara yang meminjamkan dengan yang meminjam barang tentang barang itu sudah
dikembalikan atau belum, maka yang dibenarkan adalah yang meminjamkan dikuatkan
dengan sumpah. Hal ini didasarkan padda hokum asalnya yaitu belum dikembalikan.
E. Etika Pinjam Meminjam
Hudhur aba telah mengingatkan kita dalam khutbah beliau aba tanggal
13-8-2004, agar para Ahmadi dengan secermatnya mengikuti petunjuk yang ada di
dalam KS Alquran (2 :283–284: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
berhutang pada sesamamu, hendaklah menuliskannya …..) dalam hal urusan
transaksi terutama mengenai hal pinjam dan meminjamkan, supaya ditaati dengan
penuh ketakwaan, takut kepada Allah, agar terhindar dari hal-hal yang buruk,
yang memalukan, seperti pertengkaran, dan kehinaan.
· Dalam hubungan di masyarakat
acapkali kita terpaksa membuat transaksi seperti meminjam dan meminjamkan. Dan
disebabkan urusan pinjam dan meminjamkan ini acapkali terjadi pertengkaran dan
permusuhan di antara saudara dan di antara teman-teman, yang bisa sampai ke
pengadilan, dan dapat menyebabkan kebangkrutan dan kehinaan.
· Dalam ajaran Islam, Allah, Taala
telah memberikan petunjuk agar urusan pinjam – meminjam ini harus ditulis;
dengan syarat-syaratnya kapan pinjaman akan dikembalikan, kalau dicicil berapa
dan berapa lama, kapan penyelesaiannya.
· Seringkali orang merasa berkeberatan
untuk menuliskan urusan pinjam-meminjam ini, dengan alasan bahwa kami berteman
sangat dekat dan bersahabat sangat kental, kami bersaudara dekat, dan kalau
kami menuliskannya, maka seolah-olah kami tidak saling mempercayai. Atau karena
merasa jumlahnya pinjamannya ini sedikit atau tidak banyak, maka kami segan
untuk menuliskannya.
· Padahal perintah dalam Islam sudah
tegas, ialah harus ditulis, berapa pun besarnya atau dengan siapa pun. Perintah
ini harus diikuti atau ditaati, sebagai orang beriman yang takwa; yang meminjam
harus menulisnya dengan benar dan dengan perasaan takut kepada Tuhan; jumlahnya
syarat-syaratnya, cicilannya, waktu penyelesaiannya.
· Kadang-kadang pinjaman ini kecil,
seperti untuk urusan dapur; tetapi perintahnya ialah tetap harus ditulis, kalau
Anda tidak ingin berakhir dengan pertengkaran, dan menjadi jauh dari Tuhan.
· Syaitan bisa berusaha untuk
memberikan salah pengertian di dalam hati orang-orang; oleh karena itu,
ikutilah perintah Tuhan ini dengan perasaan takwa, sehingga syaitan tidak bisa
menjauhkan manusia dari Tuhan-nya.
· Karena yang ada dalam keadaan
terpepet atau terdesak, atau membutuhkan itu adalah pihak peminjam, maka orang
yang meminjam itulah yang menulisnya, bagaimana syarat-syaratnya yang ia akan
penuhi. Kalau peminjam tidak dapat menulis maka walinya-lah yang akan
menulisnya sesuai keinginan atau kemampuan peminjam.
· Dalam transaksi besar, seperti jual
beli besar, maka diperlukan 2 orang saksi laki-laki; 1 orang saksi laki-laki dapat
diganti dengan 2 saksi perempuan, sehingga jika wanita yang satu itu lupa maka
yang lainnya bisa mengingatkannya.
· Pihak yang meminjamkan, karena ia
berada di pihak yang memiliki fasilitas dan diberikan kemampuan, perlu berbaik
hati, bersifat pemurah, atau melonggarkan diri, sehingga mau memenuhi atau
mengikuti persyaratan yang dikemukakan peminjam.
· Ahmadi jangan ikut kebiasaan
orang-orang, tetapi Ahmadi harus ikut perintah Islam; kalau tidak menurut, maka
akan menjauh dari Tuhan.
· Janganlah meminjam; kecuali ada hal
mendesak, ada hal yang tak terhindarkan.
· Satu kali terjadi di Rabwah zaman
dulu. Hadhrat Mirza Syarif Ahmad ra bersama seorang temannya masuk di grocery
toko bahan makanan; ketika berbelanja uang beliau kurang, lalu temannya
membayarkan kekurangannya. Maka ketika pulang dan sampai di depan pintu gerbang
rumahnya, Hadhrat Mirza Syarif Ahmad masuk ke dalam rumahnya, dan minta agar
temannya tetap memegang bungkusan belanjaannya. Setelah keluar lagi, dan beliau
membayar uang yang tadi di-pinjamkan oleh temannya itu, maka beliau berkata,
nah sekarang bisa saya ambil bungkusan belanjaan ini, karena saya telah
melunasi uang saudara yang dipakai berbelanja itu.
· Kalau meminjam uang dalam mata uang
lain, seperti UK Pound Sterling, dan berjanji akan dibayar nanti dengan uang
Rupees, setelah pulang, maka ini harus ditulis dengan jelas, tentang kurs mata
uang dan waktu penyelesaiannya.
· Kalau sampai di pengadilan, merubah
tulisan atau apa yang tertulis, atau menyangkal apa yang ditulis, maka Allah
akan menghukum.
· Kalau memaksa saksi, Allah akan
menghukumnya.
· Jika menyimpang, maka akan menjauh
dari Tuhan.
· Yang bertanggung-jawab di dalam
urusan pinjam meminjam ini adalah: 1. Orang yang meminjam, 2. Yang meminjamkan
dan 3. Para saksi.
· Ada kalanya peminjam tidak dapat
memenuhi apa yang dijanjikannya. Maka yang pihak yang meminjamkan perlu
bersifat lunak, dan berbaik hati; apalagi jika yang meminjam itu dikarenakan
kemiskinan atau kekurangan.
· Yang meminjamkan dapat mengundurkan
jangka waktu penyelesaian pinjamannya; atau memberikan keringanan, atau bahkan
membebaskannya sebagai sedekah. Allah Taala akan memberikan ganjaran dan
pahala. Karena Allah adalah Maha Pemurah.
· Dalam perjalanan Isra’, Hadhrat
Rasulullah saw membaca tulisan di pintu gerbang: “Yang memberikan pinjaman dan
menolong membebaskan hutangnya, diberi pahala 18 kali dari pada sedekah”.
Beliau
saw bertanya mengapa, karena tidak mengerti.?
Yang
diberi sedekah belum tentu ia membutuhkannya, sedangkan yang terpaksa meminjam
adalah karena kebutuhannya yang benar-benar mendesak, atau karena
kemiskinannya. Karena Allah adalah Maha Pemurah; dan Dia memberikan fasilitas
dan kemampuan kepada orang yang dikehendaki oleh Nya.
F. Kewajaiban Peminjam Meminjam
Orang yang meminjam barang orang lain,
ia berkewajiban untuk:
1. Mengembalikan barang itu kepada
pemilliknya jika telah selasai. Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Pinjaman itu wajib
dikembalikan dan yang meminjam sesuatu harus membayar.” (HR. Abu Dawud).
2. Mengganti apabila barang itu hilang
atau rusak. Dalam satu hadis yang diriwatkan Shafwan Bin Ummayyah, bahwa Nabi
saw. pada waktu Perang Hunain meminjam beberapa buah baju perang kepada
Shafwan. Ia bertanya kepada Rasulullah, “Apakah ini pengembalian paksa wahai
Rasulullah?” Rasulullah menjawab:
Artinya:
“Bukan, tetapi ini
adalah pinjaman yang dijamin (akan diganti apabila rusak atau hilang).” (HR.
Abu Dawud).
3. Merawat barang pinjaman dengan baik
selama ditangannya.
Rasul Allah saw.
besabda:
Artinya:
“Kewajiban peminjam
merawat apa yang dipinjamnya, sehingga ia mengembalikan barang itu.” (HR.
Ahmad).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menyusun makalah ini yang
berjudul, “Pinjam Meminjam dalam Islam”, Penulis menyimpulkan bahwa dalam
proses pinjam meminjam di kalangan masyrakat harus memperhatikan beberapa hal
sebelum melakukannya, Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti
yang terjadi saat sekarang ini.
Semoga
Allah Taala memberikan kemampuan kepada kita untuk dapat mengikuti dan mentaati
petunjuk dalam hal pinjam-meminjam dan bersedekah dalam ajaran islam. Amin…
B. Saran
Dalam
penyusunan makalah ini, masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan, untuk itu
penulis sangat mengharapkan partisipasi rekan dan dosen berupa saran serta
kritik yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
· Al-Qur’an dan Terjemahannya
· Amir Abyan dan Zainal Muttaqin,
Fikih, PT. Karya Toha Putra, Semarang, 2006
· Departemen Agama RI, Standar
Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam di Madrasah,
Departemen Agama RI, 2008
· Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum
Islam, PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996
· Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama
Bisnis (Syirkah) Dalam Islam. Majalah Al Waie 57
· An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun
Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya: Risalah Gusti.
· Abu Bakr Jabr Al Jazairi,
Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi,
2005.
· https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=8000250254608766900#editor/target=post;postID=5939730664725458001
Lampiran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar